Jumat, 07 November 2014

Puncak sunyi (self intro)



kereta bukan kereta sebelum dijalankan
gita bukan gita sebelum dinyanyikan
genta bukan genta sebelum dibunyikan
cinta bukan cinta sebelum dilaksanakan
(gede prama)

Sepanjang perjalanan inner journey yang sedang dan merasa saya jalani setelah sekian tahun, ada beberapa sahabat seperti merasakan kesedihan dari tulisan saya. Saya yang jadi bingung kareja merasa tidak seperti itu. Kalau refleksi pemikiran menampakkan kesedihan itu hanya semata persepsi. Misal ketika menuliskan tentang kerinduan pada Adinda, saya tidak hendak menuliskan kegundahan namun kegembiraan apapun maknanya.

Jalan sunyi, sebuah keputusan diri yang saya jalani beberapa tahun yang lalu adalah refleksi dari sebuah pertanyaan dalam kebimbangan. Ketika tanda sunyi menyergap diri ini, pertanyaannya kenapa. Lama mencari makna dibalik ini sebelum akhirnya putri saya menyadarkan ini adalah sebuah cara yang teramat pribadi memahami hidup. Kehilangan awalnya memang memedihkan, namun ia juga sebentuk hadiah tersembunyi untuk dibukakan pintu pemahaman. Pemahaman diri, pemahaman pada alam, manusia bahkan Tuhan dan seisinya. Pelajaran pertama dari Adinda adalah ketika gembira dia tersenyum, saat sedihpun entah kenapa dia juga tersenyum. Awalnya meng-ikrarkan untuk masuk di jalan sunyi pun buta bagaimana caranya. Namun pelan tapi pasti peta itu perlahan terbentuk. Awalnya secara harfiah saya mengira harus berjalan di jalan sunyi, namun ketika itu berkaitan dengan inner journey, kebingungan yang tampak. Akhirnya saya ingat Adinda yang selalu tersenyum dalam sedih dan gembira, membuat tersadar, apapun rona kehidupan pasti akan berjalan di dua kutub ini, senyum adalah cara untuk melaluinjya.

Susah memang untuk tersenyum saat sedih, namun setelah sekian lama perlahan saya berhasil memahaminya dan tiba di langkah berikutnmya  yaitu, mensyukuri segala hal, saat sedih datang memang terkaget-kaget dan limbung, namun perlahan bila disadari itu juga akan berlalu tiba-tiba senyum pun mengembang. Entah kenapa langkah yang semakin ke dalam saya menemukan selain syukur ternyata ada ikhlas, sebuah cara untuk menerima kesedihan dan kegembiraan dengan takaran sama mesranya. Cukup lama berkutat dan belajar diantara senyum-syukur-ikhlas, hampir bertahun-tahun dan saya juga gak terlalu yakin apa sudah "lulus" untuk hal yang begini.  Pada periode waktu yang lain tiba-tiba menyadari bahwa ujung dari hal diatas ( senyum-syukur-ikhlas) adalah rendah hati. Saat tiba di situasi ini yang saya alami adalah sengatan spiritual (istilah sendiri) dan betapa sengatan itu membuat keterkejutan luar biasa. Bagaiman tidak, saat itu terjadi tiba-tiba ada jendela yang melihat dunia dari sudut yang berbeda. Itu serasa begitu alami seperti menyatu dengan alam, terasa transparan tidak ada batas entitas antara manusia, pohon, air, batu (saya pernah baca buku ada orang yang tangannya sering dihinggapi kupu-kupu, hal itu tidak mengherankan).

Seperti melihat setiap episode hidup, langkah selanjutnya perlahan nmemahami apa sebenarnya "sesuatu" bernama manusia, dari mana, akan kemana berakhir dan "ngapain" di dunia ini. Seperti dalam tulisan sebelumnya tugas manusia beserta juklak dan juknisnya sedikit demi sedikit memahami makna tiada, kematian, dan kehidupan. Semua berjalan seperti mengalir semata, terus terang ada ketakutan yaitu  kegamangan harus meninggalkan hiruk pikuk dunia dan seisinya, cukup lama untuk berada dalam kebimbangan ini sampai sahabat saya yang saya panggil Gurpan bilang bahwa jalan ramai, jalan sunyi adalah jalan yang sama hanya cara memandangnya beda. Jujur saya terkejut sekaligus gembira karena saya berfikir harus bertapa di puncak gunung untuk mengerti hal ini. Anehnya Gurpan bilang bertapanya harus di mall pusat semua kemanjaan indera berada. Kemampuan mengendalikan indera ini yang akan membedakan  jalan sunyi atau jalan ramai. Yang satu berjalan kedalam satunya keluar. Satu jalan dengan ujung yang tak sama.

Saat saya tanya ujung jalan sunyi Gurpan menunjukkan toilet di mall, awalnya saya bingung hubungannya apa, namun saat dia bisikkan : broken wing makan jika lapar, minum kalau haus, tidur kalau ngantuk, saya pun paham. Toilet melambangkan dimana manusia menemukan sifat alaminya. Mana mungkin bisa pencitraan di toilet, kalau kebelet ya kebelet ga ada kepalsuan. Ujung jalan sunyi mengembalikan manusia pada sifat alaminya dari tiada-mengada berakhir meniada dan itu memudahkan jika sewaktu waktu Tuhan call disuruh laporan. Laporan sama Tuhan pun gampang-gampang susah, BELIAU mengisyaratkan : bukan seberapa banyak yang kau peroleh di dunia, namun seberapa banyak yang kau peroleh tadi (harta, ilmu, kekuasaan) berguna buat orang lain,,,nah lo.

Hari inipun masih banyak yang harus saya pelajari, misal marah, hal yang telah lama merasa tidak bisa lulus dari "pelajaran" ini, karena marah tidak saja menghilangkan semua kebaikan namun seperti menanam bibit-bibit keburukan, seperti bensin yang membakar kertas dan tersisa jelaga.
Kembali pada awal, saya ingin berterimakasih pada Adinda yang sekarang mungkin sudah kuliah entah di fakultas apa karena dia sendiri belum bilang. Banyak yang ingin saya bicarakan dengannya, namun kalau dia ada saya hanya ingin saat pagi menjelang dia bilang : Yaah,,,met ultah,,,cup-cup cium pipi,,,ahhhhh itu sudah terlalu cukup.....:-)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar