Senin, 27 Februari 2017

Meaning Life(self intro)

Meaning Life
Sebagian dari  sepanjang umur kita dihabiskan untuk mencari makma hidup, ada yang menyangka hidup adalah sukses materi dan pangkat sehingga sejak kecil hidup kita telah diatur untuk sekolah dimana, bergaul dengan siapa. Institusi bernama sekolah tak pelak dipahami satu2nya jalan buat mencapai kesuksesan.

Namun sebagaimana hidup juga bertutur, ketika pencapaian itu diperoleh, kita malah capai sendiri, dan mulai mencari apa makma sejati hidup ini, ketika menengok ke belakang saat ketulusan bersama teman begitu nikmat sehingga yang namanya reuni menjadi hal yang dinantikan, kita serasa menemukan jejak akar rumput kita . Sepanjang hidup mencari pecapaian yang bermakna ke luar, dan akhirnya capai sendiri . Selama itu pula kita menghabiskan waktu dengan pertanyaan yang sama, digawe opo urip iki (dibuat apa kehidupan ini).

Saat tubuh mulai merenta, fisik tidak sekuat dulu lagi, diakhir perjalanan di dunia, ketika genta bernama kematian tiba,akhirnya sadar apa yg dilakukan sepanjang hidup diri ini hanya sia2, dan Tuhan menghukum kita bukan dengan apa2 namun  sebuah kata lembut: menyesal. Inilah yang kita inginkan kelak?

Senin, 20 Februari 2017

Nemu catetan saya(setahun lalu)😁😁

Ketika malam mulai menghitam dan hujan mulai menghentikan tangisannya, Malang seperti perempuan dewasa yang habis mandi,kecantikannya kalau boleh dimiliki sendiri 😂,saya dan anak mertua malam ini pun menyasar kedai kopi baru (wara laba baru), bukan sekedar kongkow tapi memang coba menikmati kopinya yang katanya meng-kafein (istilah saya sendiri) banget. Sebagai bagian gaya hidup ngalam punya, entah kenapa tempat ngopi selalau menyasar anak muda dengan "tagline" bagian gaya hidup, style yang harus di makan mentah.

Saya percaya itu karena untuk parkir saja susahnya minta ampun, yang menarik pengunjungnya rata-rata sepantaran anak saya, dan lucunya ketika gaya hidup sudah jadi keharusan, bangku disebelah saya mahasiswa/mahasiswi dengan dandanan BPJS(budget pas-pasan jiwa sosialita)  sibuk urunan membayar kopi mereka, sementara yang lain sibuk ketawa entah untuk apa. Saya selalu satire untuk urusan beginian. Saya selalu percaya bahwa sepantaran anak saya belum waktunya mencoba ngikop(ngopi) yang beginian, bukan ga boleh tapi mencoba untuk tidak terjebak dengan trik marketing menjual gaya hidup . Mungkin kelak saya tertarik untuk men-setting makanan lokal seperti lentho, hawug2, kokam, bendoyo,ondhe2, marning sebagai bagian gaya hidup, makanan bergengsi. Hanya dengan sedikit pencitraan, maka jadilah makanan ndeso terangkat jadi food of life style yang harus dicoba kalau ga ingin ketinggalan jaman.

Daya tarik kafein lantas di citrakan gaya hidup modern dengan setting ruangan masa lalu, klop sudah menikmati malam dengan cangkir kopi dan tawa yg meluruhkan kepenatan dan perih. Bayangkan kecanduan kafein sudah jadi komoditas yang menggiurkan dan akan tetap begitu dalam beberapa tahun ke depan. Saya yang udik makin sulit mengerti kenapa gejala ngopi dari warung sederhana berubah menjadi gaya hidup modern. Terlintas di pikiran, gimana coba menghidupkan lagi nyusur sambil petan, bisa di rubah jadi modern life style sambil ngikop, mangan jajan ketan,lentho dan kokam,,,,,heheee,,,
Bukankah makanan dan gaya hidup selalu berputar ikuti sejarah? 😁😁

Sabtu, 18 Februari 2017

Bikin status ahh,,,


Saya tidak segan mengakui jika jurnalistik berhasil menempa batin dan otak.  Pelatihan jurnalistik yang sering saya ikuti di kampus dulu telah membentuk sudut pandang yang integral terhadap sebuah masalah.  Kepekaan melihat penderitaan dan daya juang seseorang begitu menbekas di hati ini.  Pengalaman indepth reporting, menelusuri kaki pedalaman yang berdebu, hujan dan panas,  di sudut-sudut spot perikanan,  begitu berharga pengalaman ini,  tanpa di dukung IT yang memadai,  justru membuat laporan jurnalistik begitu genuin.

Jangan ditanya masalah idealisme,  ini mirip menenggak kopi,  selalu bikin semangat dan intens bagaimana dulu melihat ketimpangan dari sudut anak muda belum kaya pengalaman hidup tapi telah disuguhkan dengan realita yang menakjubkan. Hingga jangan heran,  terkadang suasana batin tsb masih menyisa hingga kini. Namun cilakanya saya jadi terbiasa melihat kejadian, masalah dengan sudut kaidah jurnalistik : 4W(what,where,why, who)  dan 1 H(how) 😂😂😂. Apalagi saat itu lagi demen-demennya baca psikologi populer untuk tambahan ilmu biar bisa ngorek nara sumber lebih dalam,  jadilah saya selalu melihat motif,  alasan sebuah kejadian.  Apakah saya akhirnya tidak jadi wartawan karena english saya lebih bagus di toefl madura 😂😂,its no problem karena ilmu jurnalistik cukup bagus untuk menganalisa sebuah masalah, toh tak harus jadi pewarta, karena temen saya menyematkan gelar blogger 😁😁,hal yang saya sendiri bingung opo to blogger,  apa karena saya sering ngeblogg,  atau karena punya blogg tapi jarang diisi 😀.

Jadi, kalau saat ini lihat sosmed isinya gitu-gitu aja (meskipun banyak juga yang bagus) mulai dari yang alay, yang curhat suasana batinnya, (sampai orang yang saya kagumi GM kebawa juga), hingga ada yang sengaja nyari duit dengan menebar kebencian,istilah sekarang hatespeech, saya melihat ini sebagai proses tumbuh dan cerminan seseorang, masyarakat dan bangsa. Benar juga dulu doktrin jurnalisme adalah membawa dunia dalam satu genggaman,sekarang telah terbukti dengan kemajuan IT. Meski ada efek negatifnya, saya optimis balancing pasti ada.

Sebagaimana tulisan ada penutup, medsos apapun adanya, telah membuat jutaan orang sukarela jadi masyarakat dunia informasi alias netizen, dan punya kemampuan menekan terhadap perseorangan, organisasi bahkan negara. Mirip seperti yang diinginkan john lennon di lagunya imagine, sebuah kehidupan tanpa batas2 negara yang masyarakatnya hidup dalam damai.  Mestinya john lennon belajar pada idiom Jawa 😂😂😂 : gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo,  pasti dia akan menunduk dan bilang: bener ente wing,,,. Saya pun hanya bisa tersenyum 😊😊😊,,,

Selasa, 14 Februari 2017

Phitecantropus Selfius

Phitecantropus Selfius

Dalam ukuran derajat kebutuhan manusia,  hal paling dasar harus dipenuhi adalah pangan,  sandang dan papan.  Saat 3 hal tsb terpenuhi,  manusia melangkah lanjut dgn kebutuhan tersier,  pengakuan diri.  Hebatnya sebagai mahluk sosial sekaligus mahluk ekonomi, kebutuhan tersier bisa digabung dgn kebutuhan primer.

Banyak tempat makan,  tempat hang out,  ditambah dengam medsos yg mengakomodir  hal ini,  menjadikan hidup keseharian jadi riuh rendah,  fiddun-ya wal realita 😂😂. Yang mengagumkan tidak melihat usia, dari usia remaja hingga senja, meng-aktualisasikan diri, dan berkembanglah aplikasi yg bisa membuat wajah biasa jadi cantik dan ganteng, keriput wajah bisa hilang secepat menepuk nyamuk tanpa harus pergi ke salon yang biayanya mahal. Pertanyaannya gejala apa ini dan sampai kapan?

Sejarah pasti terulang, dulu ada narsisius, pemuda yang memuja dan  menggumi wajahnya sendiri sehingga timbul istilah narsis. Sekarang timbul istilah selfie yang mirip narsisius hanya beda teknologi, sehingga bisa jadi kelak kita akan dikenang dalam sejarah sebagai Phitecantropus Selfius, karena kegemaran  memotret diri sendiri,,😂😂.

Apakah saya membenci gejala ini? Tidaaakk,,,,karena ini gejala awal sebelum masuk ke era pendewasaan secara kultural dan peradaban. Mirip pertumbuhan anak dari bayi kita masih balita, seorang balita masih maaf sering bermain  alat kelaminnya,,,😁😁 hanya untuk menunjukkan aktualisasi siapa dirinya. Mirip peradaban kita hati ini 😀😀

Yang dimaksud pendewasaan kultural dan peradaban adalah ketika manusia bosan dengan ego diri,  dia masuk gerbang spiritual tingkat paling dasar,  yaitu menanyakan sebenarnya saya didunia untuk apa,  akan kemana dan adakah kehidupan setelahnya.  Hal ini sudah mulai menggejala di dunia barat yang bosan dengan kemapanan dan materi. Pada tingkat selanjutnya manusia akan masuk era, dia adalah entitas besar dari makro kosmos kehidupan,  bukan yang paling berkuasa,  namun bersama menjalankan etika kehidupan dari yang besar seperti black hole hingga yang paling kecil bernama virus,  dan sama-sama "tawaf" untuk hal yang paling mulia. Saat di Puncak peradaban paling tinggi,  teknologi hanyalah tools bukan alat utama. Selanjutnya pada fase peradaban yang paling tertinggi maka paradoks kehidupan kembali lagi ke awal dan siklus terulang kembali,  mirip daun yang menguning kemudian jatuh ke tanah menjadi pupuk untuk kehidupan selanjutnya.

Apakah kita akan bisa menjumpai peradaban itu?  Rasanya tidak,  mungkin anak cucu kita juga belum,  konon katanya pada saat itu manusia susah bisa melakukan teleportation,  berpindah tempat dengan sekejap dengan metode seperti film star trek.  Kita sekarang ini cukuplah dengan selfie dan narsis, karena kita hidup di era itu,  selebihnya,,,  cukup berendah hati aja,,, its ur life,,, enjoy with ur self, 😂😂😂😂