Minggu, 14 Juli 2019

Manusia ruang





Kalau lihat gambar dibawah, apa pendapat anda,  satu bayi mungil lucu dan menggemaskan,  satu pemandangan bromo dilihat dari pananjakan, tampak gunung batok di depan, kaldera bromo dengan latar belakang gunung semeru. Yang satu penuh kelembutan,  yang satu mewakili maskulinitas,  tetapi dua-duanya memiliki persamaan : damai,,,,, 

Kita mungkin pernah bertemu seseorang tanpa kita kenal baik,  tapi rasanya berdekatan dengannya begitu damai.  Saat logika kita mencoba 
melabel-i orang tersebut,  kita kesulitan,  profesinya apa kita tak tahu,  kemahirannya apa,  jabatannya apa. Tapi begitu diajak ngobrol apa saja semuanya mengalir penuh kegembiraan, apapun topiknya mampu bicara dari sudut berbeda, bahkan alur berfikirnya bikin kita terkaget2. Orang tersebut tak bisa di tempatkan dalam ruang, seperti jabatan, profesi lainnya. Karena dirinya yang menyediakan tempat bagi semua jabatan, profesi dan apapun juga. Ia yang menyediakan ruang untuk semua,  saya suka menyebutnya manusia ruang, sejenis manusia yang telah menyatu dengan makro/mikro kosmis,  ia sendiri ruang dan waktu.  

Kembali pada gambar bayi dibawah ini,  siapapun orangnya pasti akan tersenyum melihat bayi,  dan bayi akan tersenyum tanpa melihat niat, jabatan dan profesi orang yang memandangnya.  Bayi adalah contoh manusia ruang. Yang lain di sekitar kita mungkin banyak,  tak terlihat tapi terasakan (incognito)

Rabu, 10 Juli 2019

Brodien van klompen

S
Saya punya temen pengagum pesepak bola Belanda Robin van Persie sehingga namanya semula badarudin (dipanggil broedin) ganti jadi broedin van persie, ketika belanda kalah dari argentina dia patah arang, namanya dirubah jadi broedin van klompen(saat Belanda kalah yang namanya tv dilempar sama klompen alias bakiak) 

Yang menarik katanya keimanan seseorang biaa dilihat dari kemajuan sepakbolanya, jadi saat belanda  kalah dia punya analisa sendiri katanya pemainnya sudah pada matre semua,  lupa dengan filosofi sepak bola belanda  dengan total footballnya yang menekankan pada konsistensi menyerang,ke-istiqomah-an. Yang menarik menurut analisa temen saya,  puasa juga memiliki ruh yang sama mirip filosofi sepak bola.  Menurut van klompen, "beliau" bilang ada 3 aspek yaitu hablumminallah, hablumminannas dan ini yang agak kurang ajar :  hablum minannaar.

Katanya : kalau yang 2 aspek pertama saja ente ga sampe,  yang terakhir yang akan ente peroleh. 
"dien ente kok nakutin gitu"?. Loh broken wing puasa itu rahmat. Ampunan dan pembebasan dari naar, kalau yang 2 diawal saja ga dapat maka yang terakhir hadiahnya, logikanya gitu. Saya hampir semaput mendengar "fatwa"nya yang cukup berani.

Terus apa hubungannya dengan sepak bola? Dilapangan,  bola adalah sentral dan satu satunya bola yang diperebutkan pemain sebanyak 22 orang,  dalam puasa juga demikian. ibaratnya kita fokus satu-satunya padaNya, lah kalau akhirnya semata2 fokusnya demi fulus rasain kalau belanda kalah. Sama seperti puasa fokusnya DIA, kalau semata2 puasa bukan pada Nya sama saja  fokusmu pada yang lain dan berujung fokus pada  hablumminnannaar.....hehehe. 

Iki logika piye to dien,,,,, sak karepmu dewe,,,,, 
Tiba2 didepan lewat SPG rokok dengan rok mini,  Broedin seketika matanya melotot
"dien fokus2" kata saya
"iki wis fokus brokenwing,,, wes mendelik ngene mosok kurang fokus".
"fokus hablumminannar yo dien"
Plakkkkk,,,,,, kepala broedin seketika di jitak istrinya mbak Sari(saripah) : " yo ngono terus2no,,,,, awas nek jaluk jatah,  tak kon turu kursi".
Haaaahaaa 😂😂,,,,,,rasain ente dien,  saya ketawa ngakak sambil menjauh, broedin hanya meringis kesakitan.

Sabtu, 06 Juli 2019

Sekul(nasi) vs school (sekolah)


School ke sekolah
Kalau saya bilang anti sekolah,  pasti banyak yang gak setuju.  Anti bukan dari cara kita memperoleh pengetahuan, tapi sistem nya. Saya adalah produk sistem sekolah orde baru dimana didalamnya menekan kan kecerdasan IQ.  Dengan adagium : sekolah adalah cara menuju sukses,  maka yang pintar IQ nya logikanya meraih sukses. Kebetulan saya bukan salah satu yang pintar 😁😁. Saya tidak tahu apakah pintar sama sengan cerdas,  dijaman saya sekolah, kecerdasan lainnya belum diperhatikan,  seperti kecerdasan EQ dsb. 

Dunia sudah berubah,  dulu sekolah sebenarnya diarahkan untuk mengisi lapangan pekerjaan yang memang mengadopsi dari barat dimana pekerjaan(korporasi) identik dengan logika (sekolah) bahkan kata sekolah sebenarnya sarapan dari kata school.  Apakah sekarang sekolah penting? Jika merujuk pada pembelajaran mengenai hidup,  teramat penting,  tapi jika hanya menghafal sejumlah pengetahuan,  kita bisa mendapatkannya di google (mega ensiklopedia). 

Misal,  tak semua jurus2 tentang budididaya udang diperoleh di bangku kuliah,  mereka menyediakan dasarnya saja (default mode).  Sehingga saat terjun langsung ditengah derasnya arus mainstream perubahan yang cepat pada budidaya,  agak gelagapan awalnya dulu.  Namun mengikuti derasnya aliran tanpa punya standar basic juga agak mengerikan karena kontrolnya akan lemah. Proses perubahan di lapangan akan menjadi pengetahuan baru yang akan terus diuji keberhasilannya. 

Kembali lagi,  sekolah hanya menyediakan default mode, sisanya harus cari sendiri.  Jika anda merasa bangga sebagai sarjana baru, saya akan bilang anda hanya raw material . Pengalaman interview dengan kandidat calon pekerja, sampai pada kesimpulan itu,  dan perusahaan tidak hanya menerima karena anda pintar,  tapi juga memiliki sikap emosional bagus.

 Saya pernah bekerja sama saat kuliah, dengan beberapa temen bule londo, dalam sebuah penelitian kebetulan satu bidang dengan skripsi,  mereka bilang disana tidak ada S1, tapi D3 sehingga saat lulus bisa langsung diterima bekerja,  sedang temen londo saya ini lanjut sekolah untuk jadi peneliti sehingga lulus langsung master setara S2.

Jadi kesimpulannya,  apakah sekolah perlu? Jawabannya perlu sebagai sarana sosialisasi kelak saat kamu reuni . Makanya saya gak suka home schooling,  membayangkan reuninya gimana.  Masalah ilmu pengetahuan bisa diperoleh di mbah google.  Satu2 yang harus menemukan guru,  buat saya adalah bagaimana membuat sikap ahlaqmu bagus,  sisanya bisa diperoleh sambil jalan, (jangan mengira kamu bisa merubah dunia saat hanya hal kecil saja seperti budipekerti tak bisa, sebab dunia saat ini telah dikuasai nafsu berlebihan pada benda sebagai parameter kesuksesan,  dan itu diperoleh berawal dari kamu rajin berangkat ke sekolah) 
udah gitu aja,,,,,

Pak DI dan DIsway-nya


Saya ini pembaca setianya pak Dahlan Iskan(DI) sejak beliau masih di tempo biro Surabaya dengan temen lamanya mas zaim ukhrowi.  Entah gimana ceritanya kok sampai kesasar untuk mengelola Jawa Pos koran yang dulu hampir surut. Setelah dipegang beliau JP menjadi raksasa media. Padahal Jawa pos dulu koran kuning,  isinya banyak berita kriminal dan berita pemerkosaan, nama pemerkosanya sering dinamai bondet dan korbannya disebut Mawar. Jadilah nama bondet melegenda 😁 menjadi julukan pria hidung belang. 

Perlahan sejak di pegang pak DI koran Jawa Pos menjadi koran jujugan untuk mencari informasi dan berita,  sehingga pesaingnya koran sore Surabaya Pos mendapat lawan tangguh sebelum akhirnya juga tumbang.  Media Jawa pos pun merambah kemana2  menjadi media gajah,  dan kerja keras itu patut diapresiasi walau ada harga yang harus dibayar oleh pak DI dengan transplantasi hati.  

Membangun kerajaan bisnis menjadi raksasa memang tidak mudah, perlu kerja keras,  istiqomah dan komitmen tinggi.  Team pak DI saya yakin solid karena saya pernah alami bagaimana interview menjadi wartawan disana cukup ketat. Saya ingat,  Jawa Pos meminta nilai IP tertentu sebagai syarat awal masuk. Dan menjadi bagian dari koran besar adalah kebanggaan tersendiri waktu itu. 

Jadi saya kaget ketika mengetahui bahwa pak DI sudah bukan menjadi bagian kepemilikan JP(Jawa pos) dan berpindah tangan ke orang lain.  Saya tidak tahu apa sebenarnya masalah di jp sehingga pak DI harus merelakan Jawa pos yang dibesarkan mulai bayi hingga meraksasa. Rasa penasaran sebagai pembaca setia (bagaimanapun juga Jawa pos berjasa, setiap kamis saya selalu membaca lowongan  kerja disana 😁) membuat saya menduga2, ada 3 hal kemungkinan : pertama,  masa digitalisasi telah datang sehingga informasi berita berbasis kertas mulai ditinggalkan,  selain mahal di kertas distribusinya juga rumit dimana berita dibuat malam dan tersaji tepat  pagi harinya. 

Kedua,  sejak pak DI sakit dan harus wira wiri pengobatan tanpa kehadiran beliau JP seperti kehilangan ruhnya meskipun ditopang jajaran manajemen yang nota bene adalah kawan seperjuangan beliau sejak Jawa pos dari bayi, pasti ada pengaruhnya. Dan yang ketiga dugaan saya adalah peralihan generasi,  saya tidak akan membahas detail namun sebagaimana umum sebuah perusahaan akan alami ini : peralihan generasi dari pertama kedua dan seterusnya ada yang mulus ada yang tidak.

Makanya saya seneng saat pak DI nulis lagi di disway,  sebagai wadah tempat beliau menulis,  mirip kanvas bagi pelukis,  mirip gitar seorang musisi. Yang saya rasakan beliau sebagai wartawan senior masih aktif menulis disela2 perjalanannya ke berbagai belahan dunia,  dan saya yakin tangan beliau akan kaku jika lama tidak memencet keypad.  Otak beliau akan bergemuruh karena ide menulis tak tersalurkan sehingga bisa2 pecah pembuluh darah.  Jadi saya setiap pagi selalu buka catatan dahlan iskan di facebook hanya untuk menikmati sarapan pagi buatan pak DI.  

Meskipun tak sama,  kebiasaan saya menulis sejak aktif jadi jurnalis kampus hingga sekarang tak terelakkan malah jadi pelepasan selain hobby.  Bedanya pak DI punya disway saya cukup punya akun facebook,  tak peduli di komen apa tidak yang penting menulis heeeheee,,,,😁😁