Minggu, 06 Agustus 2017

Serpihan ingatan

Di era akhir millenium ketika teknologi IT belum "menjajah" saya 😀, kemarin  anak mertua sempat2nya nanya dulu kita ngapain aja ya kalo malming, saya ngingetnya cuman jalan, dan bener2 jalan kaki cari bakso kaki lima, dan pulangnya beli martabak dan terang bulan, itu pun sudah jadi kemewahan sendiri karena bisa berduaan sedang si kecil baru setahun kemudian nongol. Setelah Adinda hadir kebiasaan berubah karena dia merasa jadi raja hanya dengan menunjuk, malming pengen jalan kaki keliling kompleks perumahan dengan minta gendong (jujur saya selalu menolak,,,😂😂)di depan dan berakhir beli nasi goreng kesukaannya. Kemewahan yang saya punya kalau mengingatnya, murah meriah karena sedikit bercampur debu jalanan,,,😀😀😀.

Waktu memang berjalan cepat dan ponsel disusul smartphone mulai perlahan menguasai diri. Tak ada seperti dulu, saat "marung" ber joke sambil godain adinda kalau eskrim kesukaannya habis, yang didusul teriakan protes ga percaya. Hari ini marung adalah kegiatan pindah tempat buat cari wifi gratisan dengan bandwidth lebih cepat,,,,😀 sehingga meskipun saya dan nyonya secara raga hadir tapi jempol lebih lincah berselancar di dunia maya dan ini ironis 😂😂😂

Teknologi memang membuat semuanya bisa jadi mudah, namun membuat kita jadi individual, hubungan dengan orang tersayang juga berubah menjadi lebih formal, misal meski kita duduk berhadapan, namun kita bicara lewat kata alias WA,,,,,😀😀😀,,,,sehat? enggak dan saya akui itu heeeeheee. Namun begitulah, saat hidup berjalan saya cuman coba melibatkan sisi terbaiknya dengan mengalir koyo umbel waktu pilek,,,😂😂😂😂

Selasa, 01 Agustus 2017

Menangkap sunyi

Menangkap sunyi
Dulu saat tenaga dan pikiran masih kuat untuk begadang sampai pagi bahkan dilanjutkan sampai malam lagi, badan hanya terkekeh dan biar pikiran tetap fokus, doping kafein hal yang bisa dilakukan. Kenapa harus bela-belain begitu? Idealisme anak muda yang lagi gandrung dengan hal yang berbau jurnalistik membuat saya begitu nikmati "kemalangan" itu,,,,😀😀😀. Jujur, masa depan adalah hal yang tak terpikirkan. Berkutat dengan sejumlah nara sumber, dikejar date line jadi keasyikkan sendiri dibanding tuntutan SKS yang mengejar saya. Saya menyebutnya idealisme tanpa pijakan realitas. Ibaratnya api masih merah.

Setelah lulus, saya pernah berfikir untuk jadi jurnalis yang sebenarnya, namun apa mau dikata, idealisme saja tak cukup, koran yang kala itu masih jadi sumber utama informasi, masih merasa superior terhadap idealisme kampus dan faktanya saya  malah jadi imferior,,,,😀😀😀. Teknologi informasi yang belum bagus saat itu untuk negara berkembang membuat pilihan berbenturan dengan realita, ternyata modal sarjana hanya sebuah simbol di depan nama, tak lebih dari itu, selebihnya(,,,,,maaf,,,,,saya baru menyadarinya belakangan,,,,) tak laku.

Perjalanan waktulah akhirnya menambatkan saya ke dunia baru dan agak asing, perikanan secara kapital bukan perikanan dalam teori buku yang usang. Saya katakan usang karena ada gap terlalu jauh antara teori dan pragmatisme. Bergerak mirip ombak, naik turun dan pasang surut di dunia ini terasa menggetarkan. Sebagaimana kita tahu, kapitalism membawa adagium baru mirip filsuf perancis descartes : corgito ergo sum (aku berfikir maka aku ada). Dan saya pun terkagum kagum, pergerakan revolusi ekonomi yang menekankan rasionalis individual memang ngedab2i. Hasilnya industri perikanan melesat jauh ke atas dengan dukungan sumber daya alam. Dan saya yang saat itu masih ada di pinggiran merasakan pusaran ekonomi ini tumbuh begitu mengesankan.

Namun entah kenapa, ada "bug" dalam otak saya sehingga virus idealisme ala kampus kadang muncul tenggelam dengan membawa pertanyaan : saat eksploitasi alam tanpa henti, dimana batas moral berada. Apa yang tersisa jika kelak tiba pada batasnya. Apakah teknologi nanti bisa memecahkannya, atau ganti haluan karena dari hitungan ekonomi sudah tidak layak. Berapa banyak gerbong2 yang selama ini menikmati asupan dari sana perlahan mulai memintal benang bernama absurd. Entah dari mana asalnya, otak saya bernyanyi : lir ilir tandure woh sumilir, tak ijo royo2 tak sengguh penganten anyar,,,,,,
Ahhh,,,jangan2 otak saya kepanasan hingga hang

Tiba-tiba pikiran ini menyadar tubuh sudah tidak ijo royo2, bukan penganten anyar, namun sudah jadi bocah angon. Lamat-lamat ada rangkaian yang bukan kebetulan dari kehidupan ini, mulai muda hingga usia seksi, ternyata ada penugasan yang harus saya jalani yaitu : "menangkap sunyi" atau kata mbah google Capture the silence. Yo wes jalani ae sambil ndungo mugi2 diparingi lancar,,,,,ngoten nggih mbah google,,,😀😀😀 ( sejak kapan sampeyan dipanggil mbah wong laire ae tahun 98, sek umur 19 tahun)