Senin, 30 Desember 2013

Bromo


Bromo seperti kalimat sakti untuk melempar diri ini ke lorong waktu, seperti dejavu, saya terlempar lewati semua kisah yang melihat frame waktu dalam satu bingkai. Dan lanskap yang maskulin sore itu menerima saya dengan muram. Bromo seperti lelaki perkasa yang makin menua dan makin mature. Diperah seperti apapun dengan atas nama pariwisata, dia tetap diam. Bromo seperti sebuah janji dan keterlanjuran, semarah apapun dia hanya bisa diam, bukan pasrah tapi bijak. Buat saya Bromo seperti halaman depan, ia telah merasuk dalam diri ini karena sebuah inisisasi kedewasaan, dan awal saya mengunjunginya ia masih seperti pemuda yang tampan. Lautan pasirnya yang hitam seperti lebatnya rambut, caldera raksasa yang dikelilingi hutan pinus dan hamparan ladang kentang laksana bahu yang tegap dan berotot. Ia menyatu menjadi satu badan yang teramat tampan.

Namun entahlah, seperti semua mahluk yang akan meluruh dalam genggaman waktu, Bromo hari ini memang masih seperti dulu, tampan namun makin menua. hutan pinus yang dulu mengelilinginya hari ini telah berganti dengan hutan beton, banyak hotel berdiri disana seolah tak bisa menampung keiinginan semua manusia untuk melihat wajah bromo yang makin eksotis. Pasir hitamnya yang dulu terlihat mengkilap hari ini seperti rambut yang pelan bergeser jadi abu-abu karena debu vulkanik yang beberapa waktu muntah seolah ini pertanda kalau ia marah atau memberi tanda kalau lanskap itu kini berubah dan ia tak menyenanginya.

Bromo dalam benak saya adalah yang tergambar saat ia masih dikelilingi hijaunya hutan pinus, keramahan penduduk Tengger, dan bunga edelweis yang bisa dilihat liar tumbuh bebas di padang savana dan hari ini saya tak melihatnya lagi. Efek pariwisata memang seperti paradoks,,,entahlah keramahannya yang dulu kini menjadi sebuah kewajiban bukan tulus (meskipun begitu saya masih bisa menemuinya kemarin), efek ekonomi membuat semua serba terukur, dan parameternya adalah rupiah. Satu hal yang salah adalah Bromo bukanlah kaldera, gunung batok dan lautan pasir. Bromo adalah kesatuan dari penduduk tengger, keaslian hutannya, dan ladang kentang yang bergaris dilihat dari kejauhan. Hal itu kemarin saya tak melihatnya lagi, ada yang hilang membuat Bromo tidak utuh lagi. Mestinya dalam jarak 1 km atau lebih, tidak boleh ada bangunan beton berdiri disana, disisakan hanya hutan  sebagai pintu masuk sebelum turun ke lautan pasir (camping ground tempat saya berkemah dulu entah kemana karena diatasnya berdiri bangunan hotel).

Apapun itu, saat kemarin kembali kesana, saya menangkap Bromo hanya diam, saya tahu itu sebuah hal yang bijak, dan saya yakin waktu juga akan merubah keseimbangan saat manusia berusaha untuk menggenggamnya dengan keras. Buat saya Bromo tetap hal yang indah dan tampan apapun ia hari ini

(terima kasih buat pak Tik yang telah menerima saya dirumahnya dengan keramahan yang luar biasa)








last minute

Detik,,tak semua jejaknya hilang dengan mengabaikannya
sebab tak selamanya kita memahaminya dengan seksama
terkadang langkah diam mesti dilakukan bukan karena terlena
namun ada bijak yang akan menuntun tak semua bisa digenggam dengantawa

Bukankah telah berulang kali,,sang waktu berkata:
hidup hanya belajar mengeja keindahan
apapun keindahan itu, tak harus semua senyuman,,kepedihan juga bisa eksotika
dan ia pun tersenyum mengangguk,,(bukankah sang bijak telah mengatakannya0

Kamis, 05 Desember 2013

Tu(h)an Broedin

Saya mau bercerita tentang  sahabat saya bernama Broedin (kalau tahu masuk blog pasti besar kepala dia), bukan saja dari kisah kehidupannya yang kaya namun dari pendekatan spiritualnya yang luar biasa. Begini awalnya, karena kesusahan dari sisi ekonomi orang tuanya maka cara pendekatan dengan Tuhan pun kadang bermotif jualan alias ada tawar menawar, namun disatu sisi hubungannya dengan Tuhan terasa akrab bahkan agak sedikit kurang ajar, walau tidak mengurangi ke kusyuk kan dia denganNya. Awal kisah saat di pesantren tiba-tiba dia melakukan tirakat puasa nabi Daud, sehari puasa sehari tidak, alasannya dia pengen banget ketemu nabi Khidir penguasa lautan. Ini dilakukannya agar orang tuanya yang nelayan memperoleh hasil tangkapan yang memadai. Mengetahui Broedin yang lemes gitu kyainya bilang : Din,,kamu ga usah puasa kalau pengen ketemu nabi Khidir, nanti malam minggu jam 11 malam kamu datang ke pantai pasti ketemu. "Bener Kyai,,,"jawab Broedin sumringah. Maka seperti yang dibilang kyainya persis malam dan jam nya tepat dia berangkat ke pantai, namun apa yang dilihatnya, jangankan ketemu nabi Khidir seperti yang dibayangkan, disana malah ketemu dengan orang pacaran dan pemabuk, maka sobat saya ini langsung marah sambil mengacungkan pentungan. Tentu saja mereka pada semburat lari ketakutan. Esoknya dia mendatangi gurunya :"Kyai,,pean bohong,,ga ada nabi Khidir yang ada orang berbuat maksiat". Terus kamu lakukan apa Din. " tak pentungi semua kyai". Lah napa kamu pentungi wong itu Nabi Khidir yang lagi menyamar (Broedin kaget,,,) kalau gitu caranya sampe kapanpun kamu gak akan ketemu beliau. Maaf -maaf kyai,,jawab Broedin menyesal. Maka malam minggu berikutnya broedin pun kembali ke tempat itu, sambil senyum lebar dan disalaminya orang pacaran dan pemabuk dengan takzim seolah ketemu nabi Khidir. Tentu saja mereka blingsatan mengira Broedin sudah gila, tanpa disuruh mereka malah lari. Minggu berikutnya pantai itu sepi dan anehnya penghasilan nelayan disana pun meningkat.

Nah ini cerita setelah Broedin menikah punya tiga anak, sebelum merantau ke surabaya, dia meneruskan jadi nelayan seperti orang tuanya. Suatu hari entah apa yang salah sampe ashar tak satupun ikan didapat, hampir putus asa, dia minta sama Tuhan : Tuhan hari ini kasih 5 ekor ikan ajaa,, buat lauk saya, istri, dan 3 anak saya. Entah gimana ceritanya tiba-tiba pancingannya kena 5 ekor ikan,,eh Broedin malah bilang : Tuhhh kann cuman 5 ekor,,katanya Engkau rahman dan rohim,,,mana buktinya,,,Apa dikata mungkin sama Tuhan teman saya lagi di tes maka hanya dalam sejam perahunya penuh dengan ikan, sehingga kalau dijual cukup untuk makan sebulan. Maka dengan gembira Broedin pun pulang,,,namun ketika sampai di pantai kegembiraan itu berubah jadi kesedihan karena melihat rumahnya terbakar. Alih-alih dia meratapi semua,,,dia malah bilang :,,yahhhh Tuhan,,,napa seh urusan kita di laut sampe dibawa-bawa ke darat,,,,

Ketika merantau di Surabaya, cita-citanya naik haji terkabul, namun satu hal Broedin ini takut ketinggian,,ditambah dia takut naik pesawat, kuatir jatuh katanya. Saat di bandara dia berjanji sama Tuhan kalau sampe Jedah dengan selamat akan sembelih ayam jago satu. Begitu naik tangga pesawat dengar mesin Boeing bergemuruh, ketakutannya menjadi-jadi, udah saya naikkan deh Tuhan jadi 5 ayam jago, katanya gemetar. Begitu pesawat take off, kakinya gemetaran,,,yaa tuhan aku naikkan deh,,ga jadi nyembelih ayam 5 tapi domba 5 asal selamat. Perjalanan ke jedah yang makan jam sehingga pesawat kadang terguncang membuat Broedin setengah mati ketakutan, tangannya hanya bisa pegang kursi pesawat erat-erat,,,Tuhan aku naikkan deh tawarannya jadi nyembelih onta,, 5 ekor asal selamat. Begitu nyentuh landasan dan keluar dari pesawat, betapa leganya sobat saya, saat inget janjinya tadi dia hanya bergumam : kalau saya gak jadi nyembelih onta, Sampeyan mau appa,,,katanya sambil mendongak ke atas.

Selama menjalankan rukun haji,,,sahabat saya si Broedin ini paling semangat, terutama saat Tawaf, dia ingin selalu yang paling dekat dengan Ka'bah. Ini menarik perhatian wan Abud, ketua kelompok bimbingan haji yang masih keturunan arab. Dien,,katanya, ane salut sama ente, tiap tawaf ente selalu berebut pengen cium hajar aswad, pengen paling deket sama Ka'bah, bagus ente,,ini bisa jadi contoh sama jamaah yang lain. Dengan senyum Broedin pun bilang : bukan gitu wan,,ane hanya pengen tau,,tu yang namanya Ka'bah ada besinya ga, siapa tau ntar bisa jadi besi tua,,,Hah kurang ajar ente ditempat suci sempet-sempetnya jualan sama Tuhan,,kualat ente,,gak selamat,,tiba-tiba bakiak melayang,,,Broedin pun ngeles sambil cengengesan

Kadang saya juga heran, nasionalisme si Broedin suka dipertanyakan, tapi menurut Broedin prinsip menghormati seperti falsafah : Bapa-Guru-Ratu, artinya yang pertama harus dihormati adalah orang tua, yang kedua guru, kyai yang mengajari kita, baru yang terakhir penguasa. Namun bukan karena itu nasionalismenya luntur, pernah dia ngotot waktu 17-an disuruh nyanyi:" 17 Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita". Dia ngeyel bukan 17 tapi 16, akhirnya orang-orang mengalah, maka dengan lantang Broedin bernyanyi : 16 Agustus tahun empat lima,,,besoknya hari kemerdekaan kita,,,,
Atau lain kali disuruhnyanyi lagu nasional nadanya aneh,,,bayangkan disuruh ambil suara yang keluar hanya : ggrruuuudddd,,,,sampe akhirnya : gruuddaaa pancasilaaa,,akulah pendukungmu,,,,

Jadi saya beruntung memiliki sahabat bernama H.Broedin ini, pemikirannya outof box,,hubungannya dengan Tuhan pun mesra seperti teman, kadang seperti kekasih lagi marahan, bukan seperti atasan-bawahan. Kehidupannya banyak warna, semua dijalani dengan ikhlas, apapun kesulitan hidup sampai titik nadir pun tidak kelihatan ngresulo alias mengeluh, paling dia protes : katanya Sampeyan Rahman dan Rahim,,manaaa,,,saya ada kesulitan Sampeyan biarkan. Jujur,,saya tidak akan sanggup bilang seperti itu dihadapanNya, hanya orang-orang yang telah dekat bisa berkata semesra itu, dan salah satunya adalah sobat saya Tuan Broedin.