Kamis, 30 Juni 2016

So,,sosmed,,


Konten sosmed di indonesia memang hebat, mengikuti suasana. Misal, banyak status dan foto yang bernafaskan agama , saat bulan puasa. Its no problem kalau itu dilakukan semata mata karena syiar. Tapi ojo nemen2 to reekk,,,biasane selfie ga pake kerudung sekarang kerudungan (coba kerudungan sarung, malah joss). Terus ngasih sedekah dengan fakir miskin difoto banjur di unggah sambil tangannya ngasih tapi wajahnya menghadap kamera, senyum lagi (yaa,,,mosok arep nangis kan ga pantes). Dan tiba2 kita menjadi agamis, mengutip kata2 yang menyejukkan dari tokoh agama, mengutip sebagian dari ayat suci,,,,pokoknya semua itu bikin saya terharu dan pengen nangis,,,loh,,,? piye ga pengen nangis, tiba2 konten sosmed menjadi adem dan menyejukkan, perkara setelahnya gak gitu lagi ini lain perkara, bukankah telah lama kita ini inkonsisten isuk dele sore tempe (tapi kalau inkonsisten jangka panjang, bukankah namanya konsisten?)

Kita jadi tahu bagaimana perilaku dan kultur sebuah bangsa (kemuluken gak?) terlihat dari perilaku masyarakatnya. Misal,,,,awal ramadhan, banyak ucapan dan status otw masjid, taraweh disik,,,(malaikat tersenyum kecut lihat sing ngene iki) . Pertengahan ramadhan status berubah, topiknya seputar THR,,,nah minggu terakhir ramadhan, sambil tetap bikin status yang bernuansa spiritual topiknya bergeser,,,berburu baju lebaran beserta pernak perniknya. Nanti di awal syawal ganti lagi dengan topik mudik dan unjung2, sambil unggah foto nyium ortu sambil nangis2 (beneran nangis opo gak karena wajahnya menghadap kamera). Setelah lebaran back to nature,,maaf maksudnya sing pas puasa klambine lengkap, tiba2 jadi setengahnya mirip jagoan saya Hulk habis marah.

 Kalau saya bisa survey malaikat tentang perilaku manusia, pasti pening kepala, hal yang tidak bisa malaikat mengerti kok iso yo broken wing (aku ngarang dewe malaikat manggil gitu hehehe,,). Lantas kalau saya sodorkan tingkat kepuasan malaikat tentang manusia, jawabannya sungguh mengejutkan : wes,,,wes broken wing, ojo mbok terusno, perilaku manusia ini aku ga ngerti, gak thuk ilmune, sebagai kekasih Tuhan dan mahluk kesayangan paling sempurna, perilaku mereka adalah tingkat dewa,,(mosok ono malaikat kenal dewa hahaa,,,),,,saya pun manggut-manggut setengah paham,,,tiba2 saya terbangun,,,imsyak kurang 5 menit,,,,glodakan takut sahur terlambat saya ga inget ngimpi apa tadi,,,:-)

Rabu, 29 Juni 2016

Pojok waktu


Marah#
Yang namanya marah sudah jarang saya lakukan, paling memarahi diri sendiri, memarahi kegoblokan saya yang ga peka terhadap situasi. Namun kalu energi marah hari ini keluar lagi untuk orang lain, ada sebabnya: 1. Kenaifan yang berkepanjangan sehingga berpotensi menafikan orang lain. 2. Egoisme yang akut sehingga orang lain berpotensi dipandang rendah. 3. Wawasan yang teramat sempit sehingga dunia dipandang dari kacamata yang kecil bahkan limit.

Menghadapi hal demikian saya bisa marah karena kasihan saja mengapa dunia yang indah seperti: nasi pecel pinggir jalan yg enak, penjual dawet yang selalu tersenyum semanis dawetnya, atau tukang parkir kembang jepun yang bisa diajak bercanda dengan me-mlesetkan sedikit bahasa madura saya yang kagok, akan jadi tak terlihat dan mengancam ego. Saya marah ketika talenta di hilangkan karena pendapat yang tak sama. Ujung-ujungnya jadi nyesel juga energi marah saya keluar, karena mungkin mereka masih bertumbuh sebatas kemampuan, namun kalau itu sudah menghambat,,,,saya seh membenarkan diri,,,pasti akan marah,,,

Makanya saya tanya dengan sohib saya broedin van klompen : dien,,,bulan puasa marah membatalkan puasa ga? jawabnya : enggaklah broken wing,,,kecuali ente marah sambil nyruput es degan,,,saya pun mengangguk lega,,,(nyaman bener sohib saya yang satu ini )

Minggu, 26 Juni 2016

Edisi jelang lebaran



Edisi jelang lebaran
Di satu sisi mungkin saya orang paling introvert kalau menhadapi lebaran ini, bagaimana tidak, sejak awal puasa, niat sungguh-sungguh berpuasa seutuhnya, agak belepotan karena rintangan mentalnya banyak. Mulai taraweh yang jarang dilakukan karena tiap adzan maghrib pasti selalu di jalan tol yang makin lama macetnya tambah parah. Hingga sahur pun kadang saya lakukan tengah malam agar waktu tidur cukup untuk recovery. Sehingga menghadapi lebaran saya tidak cukup percaya diri karena merasa lebaran adalah puncak spiritual dari puasa. Setelah asik masyuk dengan kubangan bernama ramadhan, lebaran menjadi seperti mandi besar spiritual, dan saya tidak merasa yakin bisa memperolehnya.

Kadang saya iri dengan kegembiraan itu, seperti saya lihat di sepanjang jalan dimana pusat perbelanjaan ramai dengan hiruk pikuk dan pernak pernik menhadapi hari raya.  Buat saya keramaian itu adalah cermin dari "mandi besar spiritual" yang mereka peroleh setelah puasa, saya senang melihat wajah-wajah sumringah setelah sebulan menahan godaan panca indera. Memang kalau akhirnya makna lebaran agak sedikit kabur dengan balutan nuansa kapitalis yang dibungkus komoditas ekonomis, ini hanya ekses kegembiraan mengjadapi lebaran. Misal, entah sejak kapan lebaran identik dengan baju baru bahkan ada sekeluarga mengharuskan dress code tertentu (saya pernah menemukan saat sekeluarga pakai baju atasan dan bawahan warna putih saya menangis sekaligus takut, karena jadi mirip pameran hidup kain kafan)

Jadi, menghadapi lebaran malah saya jadi o'on alias pilon, karena tidak seperti lainnya, lebaran adalah puncak kesedihan tanpa tahu kenapa sebabnya, hanya ada sesuatu yang hilang, dan saat puncak takbir biasanya menangis, bukan karena kehilangan ramadhan, tapi menangisi kegoblokan saya yang menyiakan banyak kesempatan, dan ujungnya tersenyum lebar saat membayangkan habis shalat ied ada ketupat dan opor ayam. Soal baju baru? agak aneh kalo lebaran suka bergaya pakai baju takwa dan buru-buru ganti kaos hitam begitu sampai rumah. Kenpa hitam? biar keliatan lain sendiri awal syawal bukan kegembiraan tapi sebentuk kesedihan mendalam,,,(istri suka ketawa kalau saya bilang itu sambil berkata: gayamu wang wing wung,,,,)

Sabtu, 25 Juni 2016

Gurit sepi



Sing mbiyen ora tau tak lalek ke
wengi tansah nyopo aku ning pepadhangan ati
banjur isuk ngandhani : ora usah dienteni
aku mung iso ndingkluk, nguatake ojo nganti mbrebes mili
mung kowe sing iso nguatake,,,mung kowe sing isih di arep
embun kang wigati,,,,
liyane,,,,uhmm,,,sirno sakdurunge rembulan teko

Banjur,,opo wengi iki, aku mung tansah ngenteni
janji sing ora tau ngutamakke padhanging ati
janji sing tansah nggawa pedut lungo nandi
ninggalake tresno namung kanti daksiyo
opo iki urip sing dikarepake kowe

kanti subuh iki aku tetep ngenteni
warta sing nggowo sepi iku tak enteni
embun kang ngelingake: wes to,,iki mung sedela
ati iki kadung sirno kreno mbok gowo lungo
lathi sing ora bosen mlipir donga
mugi kowe nemokake seneng neng kana
(Edisi bahasa jawa)




Minggu, 19 Juni 2016

Runaway


Malam yang mulai merambat mengharuskan saya untuk menemui kota ini dengan hawa sejuknya setelah seharian di "hujani" dan memang terlalu manjur untuk recovery. Hujan yang hadir bulan ini memang agak memberikan kejutan mengingat mestinya memasuki bulan juni hawa dingin mulai merebak. Hujan bulan juni memang sedikit memberi sentakan spiritual, serelah penat dihajar tugas dan menyerahkannya pada ibu alam. " dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu - Sapardi djoko damono/hujan bulan juni", saya membayangkan mirip puisi itu. Ada kewajiban tersendiri, ada kepasrahan yang menyertai. Jadi semestinya ke depan tak memberikan janji apa-apa, sebab bukankah saya berdiri disini juga tak meminta apa-apa. Entahlah sejak mengalami naik turun kehidupan sejak lama, hidup memberikan pelajaran bahwa sejauh-jauh berjalan hanya kembali menuju sunyi. Jika memang itu, ada satu hal yang harus saya cermati, ketika masa lalu, masa kini dan masa depan berkolaborasi dan tersinkronisasi, kehidupan akan bergerak pada satu arah. Orang bilang itu kematian, ada yang bilang keabadian, saya hanya bilang : meniada menuju cahaya cinta. Buat saya ini indah
#javadancercoffe

Malang di bulan juni


Malang di bulan juni
masih menyisakan mendung untuk sepotong asa
diantara rintik yang mulai jatuh disepanjang jalan
dedaunan yang tanggal tertiup angin dan melemah
berbisik kepada angin: hujan bulan ini begitu indah
yaa,,debu yang sebelumnya selalu menganggu
tiba-tiba terkesiap menemui rinai yang selama ini membatu

Malang di bulan juni
hujan yang menghantar pagi hari
membasahi pohon trembesi di sepanjang jalan yang terlewati
menelisik pikiran ke masa dimana bahagia cinta dan lena
hanya penggal fragment masa lalu menjadi kini yang haru
tiap langkah, tiap waktu seperti potongan puzzle dejavu
melompati masa depan lantas terlempar di masa lalu

Malang di bulan juni
hujan yang menyisakan basah, dingin dan angan
hanya menempatkan badan yang mulai rapuh ini
memasuki rahasia yang tersimpan di kotak pandora
membiarkannya meluruh diantara tetes yang hilang
menuju sunyi,,,



Sabtu, 18 Juni 2016

Jelang subuh


Saya teramat paham jika hidup seseorang akan membawa bebannya sendiri, ada yang membawa beban itu sepanjang hidupnya dengan menggendongnya. Ada yang melepaskannya dengan berusaha memahami bahwa hidup hanyalah sekedar perjalanan pulang sehingga oleh-oleh yang dibawa hanya cerita indah. Ada juga yang berusaha membawa harta pangkat dan kehidupan dunia untuk dibawa pulang. Apapun yang dibawa tetap boleh saja selama jiwa dan pikiran tetap bahagia.

Mirip lagu anak-anak, disini senang disana senang dimana-mana hatiku senang. Hidup buat mereka selalu sama, tetap happy, kuncinya anak-anak tidak pernah merencanakan hidupnya, dibiarkan mengalir sehingga unsur kejutan menjadi hal yang dinanti karena membuat mereka terperangah lantas berteriak senang. Jadi kembali ketika kita terbebani oleh kehidupan, ada yang berusaha menghindar, ada yang pasrah bahkan ada yang bersembunyi. Namun sebagaimana kita tahu, hidup pasti akan memberi beban, pertanyaannya untuk apa?.

Mungkin ilustrasi ini bisa menjawabnya : syahdan dua pendekar shaolin turun gunung, satu masih muda yang satunya lebih tua. Ketika di sebuah lembah bertemu sungai, tidak ada perahu dan tidak ada jalan lain kecuali menyeberanginya. Saat hendak siap-siap tiba-tiba seorang wanita muda minta tolong untuk diseberangkan juga, tanpa banyak cakap, pendekar yang lebih tua menggendongnya sampai di sebrang kemudian berpisah. Selang beberapa jam yang muda berkata: kakak bukankah ajaran kita melarang bersentuhan dengan wanita. Yang lebih tua pun menjawab: wanita itu sudah berlalu dari tadi, namun kamu masih saja menggendongnya dalam pikiranmu,,,
#jelangsubuh

Jumat, 17 Juni 2016

Waktu


Saya ini penyuka misteri tentang waktu, banyak teori yang muncul berkaitan waktu seperti relatifitas waktu einstein dimana waktu bersifat relatif dan bisa dibelokkan tergantung besar massa. Ada juga teori yang mengatakan waktu kemarin kini dan esok sebenarnya paralel bukan linier sehingga kita kenal istilah dejavu. Namun apapun teori itu yang ingin saya katakan adalah waktu adalah pendar cinta, didalamnya mengandung kebahagiaan sekaligus kepedihan. Ada saatnya di sebuah momen kita tertawa dengan kehadiran orang tersayang, ada kalanya malah sebaliknya kita menangis meratapi kehilangan orang yang disayangi.

Ini menegaskan suatu hal, saat kita berhenti dengan tenggat waktu yang diberikan Tuhan, kemana perginya cinta apa hilang begitu saja? Itulah sebabnya keyakinan adanya kehidupan abadi setelah kematian menjadi hal yang diyakini dan niscaya. Waktu yang relatif cepat, tiba-tiba kita beranjak merenta, sebagian orang tersayang pergi dengan meninggalkan cintanya, ada sebuah asa kalau kelak kita akan kembali bersama mereka. Caranya?mumpung masih ada kesempatan tanamlah benih-benih kebaikan sebanyak mungkin, karena kelak akan menjadi pohon keindahan dan buahnya adalah cinta, kasih sayang.

Hari ini saat puasa kuta masih berjalan, ada kesempatan menanam benih itu, puasa adalah  "sawah" yang subur untuk itu. Tak satupun yang disemai akan mati, malah sebaliknya akan jadi pohon keindahan yang rindang, akan jadi buah cinta yang lebat, saat itu kita lakukan terus menerus, mungkin anda bukan saja manusia tapi telah menyublim menjadi "cahaya".

Selasa, 14 Juni 2016

Ramadhan mubarak


Pekerjaan saya mengharuskan bertemu dengan berbagai kalangan, baik yang seiman atau tidak. Di bulan ramadhan ini akan kentara saat masuk jam makan siang, banyak dari kolega saya yang non muslim minta ijin untuk makan siang dan ini yang bikin saya terharu sehingga saya juga minta ijin untuk menemani mereka makan. Pertanyaan lanjutan dari mereka adalah apa saya terganggu melihat mereka makan dan minum didepan saya yang lagi berpuasa, saya menggeleng tidak.

Yang bisa saya dapat adalah mereka menghormati saya yang lagi puasa dengan minta ijin makan siang dan saya menghorrmatinya dengan menemaninya makan. Ada rasa damai melihat kondisi yang tak perlu dibesar-besarkan apalagi sampai diliput media. Hal kecil yang sudah ada sejak dulu. Entahlah buat saya hal beginian mirip cahaya lilin, memang tidak terang benderang namun indah,,,,
#ramadhanmubarak

Minggu, 12 Juni 2016

Berlari di jalan sunyi


Mungkin benar adanya tatkala ada orang bilang hidup adalah keterlanjuran. Setiap setik, waktu yang disediakan kehidupan pada kita, adalah bentuk hutang cinta yang harus dibayar lunas. Keterlanjuran karena waktu tak bisa kembali, hutang cinta karena hidup juga menyediakan kebutuhan kita disini. Ini berlaku juga dengan saya, awal ramadhan jika orang lain asik dengan gairah spiritual dan ritual dan menikmati benar bagaimana buka, sahur taraweh dengan orang tersayang, saya malah marathon dengan aktifitas yang menurut Gurpan : berlari di jalan sunyi. Bagaimana tidak, awal ramadhan saya  harus meeting kadang hingga larut malam, membuat konsep, evaluasi, lantas mengimplementasikan plan dengan irama yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan, tiba-tiba tanpa terasa saya sudah jauh dari rumah. Kangen dengan situasi berbuka puasa di rumah, sms balasan dari anak mertua hanys singkat: katanya udah janji lillahita'ala. Balasan sms ini cukup menyengat, dan saya di ajak berlari lebih jauh namun enjoy.

Setiap ucapan yang pernah saya katakan pada Gurpan kemarin, ternyata kehidupan menagihnya, dan perjalanan di jalan sunyi malah makin cepat kalau tidak dikatakan berlari. Tidak tahu akan kemana ujungnya, berlari di jalan sunyi tanpa peta, tanpa jalan dan tanpa tahu berakhir dimana, menuntut keikhlasan total. Setelah berhari hari merasa kurang tidur, tiba-tiba saya terdampar di penginapan untuk recovery melunasi tidur. Sendiri dan sunyi, hanya endapan jejak yang kemarin bisa saya tengok. Entah kenapa merenung jadi hal yang intens dilakukan, dan saya merasa kehidupan memberikan sekaligus menagih janji. Jalan sunyi memang hal yang mengasikkan, banyak "jebakan" spiritual yang ditemui dan saya meng-ikhlas-kan masuk dalam kubangan itu. Entahlah saya menemukan kedamaian disana, ada energi cinta yang hangat disana. Samar-samar dari kejauhan tarhim terdengar dengan bacaan surat arrahman: maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan
duuhh,,,,






Minggu, 05 Juni 2016

Selamat datang ramadhan

Besok puasa, dan kita akan melakukan rutinitas yang luar biasa, bangun jam 3 untuk persiapan sahur, dan habis subuh mata kantuk harus ditahan agar tetap terjaga untuk tidak datang terlambat di kantor. Waktu juga akan berjalan seperti melambat hingga berapa kali kita menengok jam hanya untuk memastikan jarum bergerak menuju angka tertentu. Ketika beduk maghrib terdengar, kita seperti melepas beban seharian, kelaparan seolah sebulan tidak makan, semua minuman harus wajib ada di meja makan. Setelahnya, kita terhuyung berjalan karena kekenyangan dan kantuk yang menyerang membuat kita alpa atau lalai kalau tarawih menanti setelahnya. Sebulan rutinitas ini kita lakukan, seolah ini adalah keterpaksaan yang berat dijalani. Kita hanya berharap ini cepat berlalu dan memanti lebaran, bukan saja kita disibukkan dengan pernak pernik lebaran, pulkam atau silaturahmi, namun bayangan THR sudah ada dipelupuk mata dan pikuran kita makin disibukkan dengan urutan akan belanja apa, padahal puasa baru saja akan dilakukan.

Berapa tahun menjalani rutinitas ini? Apa efek spiritual yang di dapat?tak ada? jadi seumur hidup kita tak pernah sekalipun "naik kelas" dari ramadhan ke ramadhan kecuali dengan bayangan kebutuhan yang makin banyak, tanggungan yang makin besar, harapan yang makin jauh dari kenyataan. Kita pun makin egois dengan dalih masih harus banyak belajar memahaminya, masih sibuk dengan aktifitas utama kita, mencari nafkah. Dan tiba-tiba tanpa terasa kita makin menua, anak-anak makin besar dengan aktifitasnya sendiri hingga waktu bersama adalah hal yang jarang dan mahal. Tiba-tiba kita merasa hanya tinggal berdua dengan istri, suami, berdua tapi dengan tubuh yang merenta. Inikah kita? yang sebentar lagi anak kita pun pergi me,bangin keluarganya sendiri dan kita hanya termangu sembari masygul karena ke sepan kesepian menjadi teman seperjalanan hingga menunggu malaikat izroil menyapa walau dengan bahasa terhalus pun kita terkaget bahkan meloncat dibuatnya.

Besok sudah mulai puasa, dan kita kembali ke rutinitas seperti tahun sebelumnya, hidup inikah yang kita inginkan?jika tidak, kita tahu apa yang harus dirubah dan apa yang harus dilakukan :-)  marhaban yaaa,,ramadhan.

Ada apa dengan cinta


Ada apa dengan cinta
Dalam tataran cinta, puasa merupakan tingkatan tertinggi, karena S.O.P puasa yang menahan lapar dahaga dari terbit fajar hingga maghrib adalah implementasi bagaimana kita memelihara seluruh nikmat dari Tuhan yang melekat pada diri ini tanpa kecuali. Puasa juga memperbarui janji cinta kita padaNya yang terhubung secara rahasia. Hakikat puasa sebenarnya adalah mengikrarkan secara personal janji kita denganNya dalam ikatan cinta yang paling agung dan rahasia. Siapa yang bisa tahu jika kita mengaku puasa aslinya enggak, kecuali Allah dan kita.

Lantas apa hubungannya dengan perjanjian cinta rahasia kita denganNya? Sesungguhnya dalam tataran spiritual kita akan selalu hidup dengan spirit cintaNya. Implementasinya ialah dengan menyayangi keluarga, istri, anak orang tua yang utama, sesama, dan mahluk lainnya. Seiring kesibukan kita mencari nafkah, aktifitas yang berhubungan dengan duniawi, kualitas cinta itu naik turun bahkan memudar seiring dengan ketertarikan kita secara berlebihan dengan pernak pernik duniawi. Prioritas hidup yang salah, tujuan yang bias, membuat keterhubungan cinta kita dengan orang tersayang, dengan sang Maha cinta perlahan merapuh.

Dengan puasa, secara harfiah kita menjaga jarak dengan kenikmatan ragawi dan menguatkan kembali cinta secara ruhani, ini penting karena kehidupan yang berkutat dengan raga harus di landasi dengan cinta dan ini dibangun dari keterhubungan secara ruhani denganNya. Kalau tidak, sebagai mahluk spiritual akan kehilangan jati diri,  ini akan menyebabkan kita mengalami mati suri ruhani. Bukankah ketamakan, keserakahan, hilangnya empati, wujud kita mati suri secara ruhani. Dengan puasa kita di ingatkan lagi betapa keterhubungan cinta kita denganNya begitu penting untuk kelanjutan hidup kita di keabadian, saat ini dan kelak. Itulah sebabnya kenapa di akhir puasa kita dinamakan kembali ke fitrah, kembali pada jalur cinta yang sebenarnya bukan yang lain. Jika tidak, kita akan pertanyakan diri kita : Ada apa dengan cinta?

Jumat, 03 Juni 2016

Suwun yoo nduk,,


Setelah sekian waktu berjalan, tiba-tiba tanpa terasa sebentar lagi menyambut puasa. Layaknya tamu besar yang akan datang saya berusaha menyiapkan mental sebaik mungkin karena tamu yang akan membawa hadiah besar saya harus siap dengan berbagai macam kejutan. Biasanya sebelum puasa tiba Adinda selalu menemui saya dalam mimpi dengan senyum yang menandai lesung pipinya. Sudah terlalu cukup buat saya kalau itu sebagai penanda rasa kangen darinya.

Tahun ini memang saya diberi banyak kebahagiaan, salah satunya adalah di kantor menemui kolega yang usia, face dan perilakunya mirip anak saya. Namanya sebut saja nadiva, seorang psikolog muda lulusan S2 yang sedang menyerap semua hiruk pikuk kehidupan dengan semangatnya, mirip sepon kering yang menyerap air, anak cerdas ini begitu membuat mata saya terbelalak bukan saja pintar tapi cara menganalisa sesuatu cukup mengena. Sayang kalau talenta sebagus ini akhirnya sia sia. Saya tidak ingin mengulas tentang dirinya, namun cara dia memandang hidup terasa begitu  jelas, tanpa tedeng aling aling, tanpa menyisakan warna abu-abu, misal pendapatnya tentang sosial media yang menurutnya tidak penting. Mestinya untuk anak seusia dia, medsos bukan lagi sekedar life style sudah keseharian, bahasa jawanya sego jangan. Tapi ada pengecualian, dia tak memiliki medsos, kalau toh ada hanya sekedar etalase belaka. Alasannya yang akhirnya saya berniat menutup medsos sepert FB, instagram,dsb karena menurutnya lebih banyak mudharat daripada maslahatnya. Tentu saja saya kaget dengar opini yang keluar darinya. Namun akhirnya setelah direnungi, mungkin ada benarnya.

Dalam perspektif saya, hari ini dengan kemajuan teknologi malah makin terkotak kotak kalau tidak dikatakan makin teralienasi, kita lebih menyenangi hubungan via sosial media ketimbang dunia nyata. Sebagus apapun media informasi memiliki efek yang menakutkan. Susahnya kata si nadiv, tidak semua informasi yang muncul kebenarannya bisa dipastikan, bahkan menurutnya malah banyak informasi sampah. Jujur saya banyak belajar darinya, sehingga mungkin dalam waktu dekat perlahan saya akan mengikuti jejaknya, mulai pensiunkan sosial media yang telah melarut dalam diri. Bahkan akan saya tutup total dengan menyisakan beberapa seperti blog dan wa yang memang masih harus diperlukan untuk urusan kantor.

Beruntung saya diingatkan si nduuk (panggilan saya sama nadiva) anak pintar ini telah mengingatkan saya bahwa hidup lebih baik dijalani dengan pure lebih murni, tidak tenggelam dalam dunia pseudo sempit yang makin menyesakkan. Dan puasa ini kesempatan bagus untuk mulai berjarak dan melakukan detox terhadap file sampah dalam pikiran sehingga mata batin bisa lebih bening. Saya memang beruntung dalam fragment hidup bisa menemui guru yang mengagumkan, saya tidak sungkan belajar darinya termasuk si nduuk ini. Tak ada yang bisa saya katakan kecuali hanya bilang : suwun yoo,,nduuk,,