Rabu, 17 Maret 2021

Lokkah tak adere* - latepost

Semalem, dalam kesempatan "nongkrong" di tempat minum kopi di Situbondo, ada sepasang muda mudi kalau dilihat dari gesturnya lagi pdkt.  Dari logatnya yang kental aksen madura, saya yakin mereka lokalan orang sana,  namun yang bikin senyum2 sendiri,  pdkt ala Jakarta,  bahasanya lo gue,,,,, nyakartai (bukan nyakar-tai) 😁. Seolah dengan bahasa gaul rasa cinta akan lebih diterima

Persoalan bahasa agar bisa kelihatan keren dengan memakai aksen tertentu terutama nyakartai sudah lama saya amati.  Di Malang,  mahasiswanya setiap ketemu entah di mall, warung jarang pake bahasa ngalam sekarang, lebih merasa cool kalau bisa ber-elu gue, padahal ketika ketemu temen sekampungnya tanpa tersadar bilang : ehhh nda,,,,piye kabarmu, suweloh ra ketemu nda,,,,; nda bahasa slank brarti bro untuk orang jawa mulai dari kediri sampai pacitan. Persoalan ini juga karena rata2 pendatang dari jakarta banyak kuliah disana bahkan penyiar radio di  malang banyak pakai ucapan lo-gue.

Gejala apakah ini? Saya sih menyebutnya imferior culture, persoalan gegar budaya bagi pendatang yang berlatar belakang agropolis menuju metropolis. Lain halnya surabaya, mereka lebih suka dengan ucapan slank setempat, bahkan penyiar radio anak muda disana selalu memakai ucapan suroboyoan, sampai dalam interaksi dengan pendengar yang namanya umpatan "raimu" umum diucapkan. Jancuuk,,,,,sudah menjadi hiasan sehari2 sebagai tanda keakraban. Surabaya terasa lebih egaliter, mereka tak merasa minder kalau tak nyakartai. Bahkan anak2 muda  pendatang dari ibukota pernah saya dengar enteng aja bilang janncuuk, mereka merasa ada penerimaan dengan bilang kata2 tersebut. 

Repotnya anak2 muda di jakarta mulai jarang memakainya, mereka selalu selipkan bahasa english,sehingga ada bahasa jaksel, jakbar, jaktim, untuk menunjukkan perbedaan komunikasi di daerah tsb.
"iam find2 aja tuh jalan sm dia yg penting ngerasa comfort aja, after all, time yang akan kasih descision,  mo lanjut apa kagak", piye jal nek ngono ngomonge,,, 😁😁😁. Saya hanya bilang,  anak muda ibukota  merasa imferior, kalau ga sisipkan kata inernasyeonal. Sama dengan yang di Situbondo semalam,  gak marem kalau ga pakai bahasa nyakartai,  hanya saya jadi kuatir,  jika yang perempuan menolak terus pakai bahasa sono,  pasti bilangnya. : lo-gue,,,,,, end,,,,, 
Pastinya si cowok langsung ambruk sambil bilang : lokkah tak addere
😁😁😁😁😁
(*) luka tak berdarah



Time doesn't make difference

Paling seneng kalau lagi hangout (cangkruk) ngamati anak2 milenial, sambil kepo apa yang dikerjakan mereka.  Harus diakui,  ada gap memang anak daerah dengan kota macam Jember, Surabaya, Malang.  Suka gak suka ini penting sebab,  10 tahun lagi mereka yang akan berdaulat menggantikan generasi berikutnya. Bisa dibayangkan jika sekarang starter point nya malah biasa2 saja, kelak  hanya menghasilkan generasi biasa2 pula. Tanpa bermaksud sinis,  ini adalah ironi problem daerah versus kota. 

Tanpa juga bermaksud komparasi,  dalam beberapa hal kompetisi itu penting,  kesadaran akan ilmu, literasi dsb harus mulai disematkan pada anak2 muda usia 15-20 tahunan.  Teknologi informasi sudah menjalar kemana mana baik kota maupun daerah,  mestinya ini menjadi trigger buat ortunya atau bahkan sekolah? agar lebih nge- push dan nge- boost  anak2 nya.

Jadi ini perkara apa? Wes ngene wae,  saya pernah melihat,  anak2 smu di starbak mulai sore sampai malam bergerombol di depan laptop asik mengerjakan tugas kelompok(jajane arek2 smu di setarbak,  sangune piro,,,,, 😁). Tapi buat saya itu positif karena mungkin wifi disana lebih kenceng daripada di rumah. Atau lain kali mereka begitu serius diskusi di Jeko sambil nyeruput mbuh minuman opo plus makan donat yang empuk (pasti gulanya tinggi, sehingga saya gak doyan). Sekarang menukik ke daerah,  disana tidak ada setarbak atau jeko,  adanya indo*****, kebetulan  kopinya enak,  ada beberapa anak paling tidak 17 tahunan lagi rame, bukan diskusi kelompok, tapi barengan main game online. 

Apa saya harus misuh2 bilang pakyu,,,, ini realita,  meskipun gak bisa di gebyah uyah sampe uaasin,  disparitas literasi bahkan mungkin mental terjadi,  padahal memiliki akses yang sama dalam teknologi informasi,  di kota maupun daerah sudah foji alias 4G. Kesimpulannya memang jelas : waktu.  Dikota waktu berjalan seperti adukan semen molen,muter begitu cepat sehingga yang kuat di tengah yang gak kuat minggir. Di daerah waktu begitu panjang mirip pisang molen,  Selow dan renyah. Sama2 molen tapi beda cara,  akhirnya,,,,, begitulah adanya πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€, dalam bahasa internasyonal istilahnya adalah : "time doesn't make a difference, but mind".




Time doesn't make difference

Paling seneng kalau lagi hangout (cangkruk) ngamati anak2 milenial, sambil kepo apa yang dikerjakan mereka.  Harus diakui,  ada gap memang anak daerah dengan kota macam Jember, Surabaya, Malang.  Suka gak suka ini penting sebab,  10 tahun lagi mereka yang akan berdaulat menggantikan generasi berikutnya. Bisa dibayangkan jika sekarang starter point nya malah biasa2 saja, kelak  hanya menghasilkan generasi biasa2 pula. Tanpa bermaksud sinis,  ini adalah ironi problem daerah versus kota. 

Tanpa juga bermaksud komparasi,  dalam beberapa hal kompetisi itu penting,  kesadaran akan ilmu, literasi dsb harus mulai disematkan pada anak2 muda usia 15-20 tahunan.  Teknologi informasi sudah menjalar kemana mana baik kota maupun daerah,  mestinya ini menjadi trigger buat ortunya atau bahkan sekolah? agar lebih nge- push dan nge- boost  anak2 nya.

Jadi ini perkara apa? Wes ngene wae,  saya pernah melihat,  anak2 smu di starbak mulai sore sampai malam bergerombol di depan laptop asik mengerjakan tugas kelompok(jajane arek2 smu di setarbak,  sangune piro,,,,, 😁). Tapi buat saya itu positif karena mungkin wifi disana lebih kenceng daripada di rumah. Atau lain kali mereka begitu serius diskusi di Jeko sambil nyeruput mbuh minuman opo plus makan donat yang empuk (pasti gulanya tinggi, sehingga saya gak doyan). Sekarang menukik ke daerah,  disana tidak ada setarbak atau jeko,  adanya indo*****, kebetulan  kopinya enak,  ada beberapa anak paling tidak 17 tahunan lagi rame, bukan diskusi kelompok, tapi barengan main game online. 

Apa saya harus misuh2 bilang pakyu,,,, ini realita,  meskipun gak bisa di gebyah uyah sampe uaasin,  disparitas literasi bahkan mungkin mental terjadi,  padahal memiliki akses yang sama dalam teknologi informasi,  di kota maupun daerah sudah foji alias 4G. Kesimpulannya memang jelas : waktu.  Dikota waktu berjalan seperti adukan semen molen,muter begitu cepat sehingga yang kuat di tengah yang gak kuat minggir. Di daerah waktu begitu panjang mirip pisang molen,  Selow dan renyah. Sama2 molen tapi beda cara,  akhirnya,,,,, begitulah adanya πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€, dalam bahasa internasyonal istilahnya adalah : "time doesn't make a difference, but mind".


Minggu, 07 Maret 2021

Cinta, kasih sayang

Ketika matahari setiap saat menemuimu hingga kamu merindukannya dalam bentuk sunrise,  dan sunset,,, 

Ketika hujan menemuimu saat terpaan panas datang mendinginkan tubuhmu,,, 

Ketika embun pagi begitu menyejukkan daun, pohon dan dirimu terpesona dengan kelembutan nya

Ketika gelap mendatangimu dan dirimu mendapati begitu terpesonanya dengan kerlip bintang,  dilain waktu cahaya bulan lembut menerpa wajahmu

Ketika dirimu tersentuh saat musim gugur angin menjatuhkan ribuan daun kuning perlahan dan menyentuh tanah seolah akhir kehidupan 

Apa makna semua itu? Cinta? 
Setiap hari mereka menghadirkan keteduhan tanpa peduli dirimu mensyukurinya, tak merasa tersanjung kala kau memujinya
 
Ia hadir hanya dengan satu tugas, memberi,,,, memberi,,,, memberi,,,,.  

Mahluk siapa yang begitu konsisten melakukannya sepanjang hari,  bulan hingga ribuan tahun dengan konsistensi yang sama. 

Siapakah yang mengaturnya kalau bukan sang Rahman dan Rahim,  memeluk mahluk kesayangannya dengan Cinta tak terkira,,,,, 

Dan,,,,, kau masih abai meminta ini itu dengan takaran tak terkira.  Serius dalam doa namun bermain2 dengan kehidupan fana. 



Kamis, 04 Maret 2021

Secangkir kopi panas

Secangkir kopi panas

Mari,,,, mari singgah dulu kesini,  hujan yang mendera tak jua kunjung berhenti. 

Secangkir kopi panas mungkin bisa menghangatkan diri,  biarlah disana tetes hujan bercerita tentang episodenya.  Kita disini punya cerita sendiri,  semisal tentang kota yang muram karena mendung silih berganti sementara matahari yang di harap tak jua menampakan diri. 

Mari,,,, mari singgah sebentar kesini,  secangkir kopi hitam pekat layak dinanti,  biar waktu meleleh sebentar,  kita bisa berbagi kisah,  apapun tentang kehidupan , semua punya fragment nya tanpa harus menyalahkan dan menghakimi
#latepost_malang_akhirfebruari


Senin, 01 Maret 2021

Siapa kita sebenarnya?

Siapakah dirimu? Identitas dan personalitas mu yang bagaimanakah?
Siapapun kita, di level apapun berada, kita hanyalah sekumpulan "Angka"

Dimata negara, kita hanyalah kumpulan angka bernama NIK

Dimata para banker kita hanyalah sekumpulan angka bernama rekening koran

Dimata boss kantor ditempat kita bekerja kita hanyalah kumpulan angka berupa NRP,  NIP,  NIM

Prestasi kita selalu dihargai dengan angka berupa gaji,  bonus,  hingga gratifikasi,  bahkan,,,,, standar keberhasilan kita diukur dengan angka berupa IP, ADG, FCR, Tonase

Jadi siapakah kita yang mengklaim mahluk sosial,  homosapiens,  pithecanthropus erectus, jika ujungnya hanyalah sekumpulan angka belaka

Jadi apa makna kesombongan, keserakahan, segala pat gulipat di ruang remang2, meja2 kantor,  jika ujungnya hanya berupa angka. 

catatan : meskipun angka, ojo diramesi loh ya,, gak kiro metu😁
#ngopi_rumiyin