Rabu, 30 November 2011

Last song



if the trail is then blown by the wind
where they will bring it not to quiet
is not there you will find silence,
where all the wounds you change a flower
so if you feel that this is just a hopeless,
waiting for just the same sense that never arrived
if it only hurts just hope ,,,please go
maybe you could see the sun there, after a long cloudy umbrella
so,,, please go leave me in a cocoon of silence,
only the last song will be accompanied, perhaps it is better for this self

hmm,, tired isn't it?, dancing in silence without a sound
such as wind loss leaves
such as loss of overcast cloud
such as loss of beach waves
tired isn't it?
so please leave. that life can only reap the hollow of the day
maybe its better for you,
as good as the last song is about loneliness poems are reluctant to lose
when hatred is only a way to understand how much love and sincerity,
the only way back to be empty

Jumat, 25 November 2011

sampai kapan?


kalau setiap kelokan kenang diberi tanda
akan diberi apa ketika tangisan menjadi masa lalu
akan berwarna apa ketika benci berubah menjadi semu
atau makna setiap bahagia akan menjelma menjadi bunga
bukankah waktu telah berpesan
apapun warna perjalananmu
tanda itu menjelma menjadi bunga
hmm,,,bunga
sebagaimana ia adanya
tercium aroma wangi
bahkan tatkala diri ini dilingkupi benci?
dan dirimu tersenyum seperti memenangi sebuah lakon kehidupan
dengan sadar menggores luka batin yang akan dikenang
sepanjang perjalanan
entahlah,,,kebencian yang dibawa karena sesal
menjadi pisau teramat tajam melukai diri
dan engkau tersenyum (tidakkah itu disadari?)
karena kelak waktu hanya bisa berkompromi dengan keindahan
kelak waktu hanya bisa dikalahkan dengan keikhlasan
bukan dengan kebencian
bukan dengan dendam
sebab kalau hari ini masih ada perih menusuk pelan dan dalam
sehingga langit seperti pucat mengelilingi sunyi dan hampa
sebening apapun air mata, tak bisa sembuhkan luka
bukankah sepanjang hari dirimu berlari menghindari sunyi dan hampa
sampai kapan?

I am V.I.P


Seharian ini rutinitas pekerjaan saya adalah menjadi keranjang sampah, entah kenapa terlalu sering dan mudah untuk dijadikan keranjang sampah dan buat melempar unek-unek seolah saya memang pantas untuk kesana. Kadang saya bercermin apa wajah ini mirip tong sampah? entahlah "kutukan" ini memang sudah lama sehingga sebagaimana sifat keranjang sampah ia diperlukan saat kondisi buruk, saat senang agak terlupakan? itu sudah biasa buat saya :-).
Pagi tadi bergulir dengan sebuah pesan singkat masuk di ponsel saya : wing,,,kamu ke tempatku ada yang mesti di bicarakan, Pagi yang serius padahal matahari tidak serius buat menampakkan wajahnya, mendung dan langit kelabu.

Benar saja belum sempat duduk saya telah di berondong dengan ungkapan yang saya sendiri bingung apa pangkal masalahnya, Saya coba runut satu satu apa yang dibicarakan yang ujung-ujungnya adalah target yang tidak kesampaian karena salah perencanaan yang akhirnya berimbas pada target produksi. Pembicaraan pun mengalir bagai air deras tanpa memberi kesempatan saya bertanya,,bla,,bla,,bla,, sampai 2 jam saya potong, kalau tidak kepala ini tidak muat. Sebentar kemudian saya pamit dengan perut mual dan menahan lapar karena muatan "over load" sehingga harus masukkan kafein murni. Belum habis secangkir kopi ponsel saya berdering : wing,,,ada dimana,,,bla,,bla,,bla. Alamat,,,kejadian serupa terulang,, dan memang benar kali ini lebih parah sehingga saya harus sabar mendengarkannya. Bedanya yang satu ini cukup halus sebelum masuk inti permasalahan perut ini akan dimanjakan dengan makanan, setelah itu baru,,,,intinya semua sama mencari orang yang mau mendengar segala keluhan klien, customer. Ada 3 jam disana, saya hitung 2 gelas kafein saya tenggak agar kepala tidak pening dan jangan sampai pecah karena luberan.

Saya baru bisa mencerna malam ini,dari sepagi sampai sore tadi intinya hampir sama, secara tidak kentara di jidat semua orang ada tatto VIP,,saya adalah Very Important Person, orang penting yang harus dihargai. Apapun kasta ekonominya semua sama, ingin dihargai. Masalah dalam bentuk apa tiap orang tidak sama, ada dalam bentuk barang mahal, seperti mobil mewah, rumah besar, ada yang berbentuk kekuasaan dan pangkat. Atau ada yang cukup dengan anggukan kepala sambil bilang"selamat pagi". Ada yang ingin dicintai tanpa syarat tapi tidak mau mencintai.

Jadi keranjang sampah seperti saya adalah profesi mulia yang jarang sekali mau melakukannya, karena ia akan ada dalam posisi paling bawah ( bukankah keranjang sampah selalu dalam posisi rendah, kalau tinggi saya yakin akan berubah fungsi menjadi keranjang basket).
Saya sih cukup menghibur diri dengan kiasan laut pasti posisinya lebih rendah dari daratan sehingga ia akan menerima air yang banyak dari semua sungai. Hanya masalahnya saya bukan laut, saya juga manusia yang punya tatto sama V.I.P. Jadi siapa yang akan menjadi keranjang sampah saya? gampang,,,saya akan menyebut satu kata : Tuhan,,,entahlah kalau dengar ini apa Tuhan akan marah dan mengutuk saya menjadi keranjang sampah beneran.

Kamis, 24 November 2011

Rinai


Entah kenapa beberapa minggu ini saya dihadapkan pada suatu hal yang menakjubkan. Saya bertemu dengan dua sahabat dengan kondisi yang menurut saya kontras tapi mempunyai tujuan sama, menoreh kehidupan yang indah. Dimulai dengan seorang sahabat yang berangkat dari kondisi jauh dari berkecukupan, berjuang untuk mengangkat pondasi ekonomi keluarga sehingga pekerjaan apapun dilakukan hanya buat membantu ibu dan adiknya, belum lagi biaya yang besar untuk kuliah membuat seluruh waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berleha-leha. Tujuan hidupnya saat ini hanya difokuskan agar keluarganya bisa lancar,,,makan untuk hari ini. Baginya setiap detik, jam dan hari berisi keikhlasan teramat luar biasa, tapi rasa optimismenya teramat besar karena ia yakin :,,,wing Gusti Allah ora sare,,,saya terharu dengan ucapan itu, ucapan yang terlontar dari mulut yang telah banyak merasakan kehidupan. Saya kagum dengan sahabat saya ini, dan punya keyakinan apa yang di angankannya pasti tercapai.

Sahabat saya yang satunya sedikit berbeda, lahir dari keluarga berkecukupan, apapun kehidupannya dilalui lempeng-lempeng saja. Hidup pas-pasan,,artinya pas ingin ini dan itu tersedia. Jadwal liburan sudah terschedul setahun sebelumnya. Bawaannya dandy, selalu mengikuti trend dengan tongkrongan mobil dan gadget terbaru. Meskipun begitu sahabat saya ini terlalu baik bahkan, dia bilang ini fasilitas yang diberikan orang tuanya. Hanya saya menangkap sedikit kepedihan disana. Dengan fasilitas lengkap dia kesulitan buat mengidentifikasi dirinya, makna hidup yang teramat pragmatis dan kering, sehingga terlihat gampang emosional. Padahal saya tahu dia teramat cerdas dan multi talenta sehingga buat dia mestinya gampang untuk menoreh kehidupan yang indah.

Ada persamaan diantara mereka, sama-sama berjuang untuk memberi arti dalam kehidupannya sendiri. Yang satu berjuang untuk mengangkat harkat ekonomi keluarga dan bekerja keras sehingga dengan umur masih muda, terlihat aura spiritualnya begitu nyata, karena ia dengan cerdas mengolah bahan baku spiritual disekelilingnya untuk mendorong dirinya ke depan. Yang satu dengan fasilitas dan bahan baku spiritual yang melimpah, kaya, cerdas namun sulit untuk memetakan dirinya dimana dalam kehidupan, sehingga yang terlihat hanya gamang. Yang satu telah menjadi hujan, sahabat saya yang lain masih menjadi awan. Entahlah saya hanya bisa berdoa semoga keduanya segera menemukan dirinya dalam makrokosmos dan mikrokosmos spiritualnya, sehingga apapun anugerah yang diberikan Tuhan digunakan semata-mata hanya untuk pengabdian bukan sekedar ejakulasi ego sesaat.

Saat semua berakhir dalam sekedipan mata


Saat batas ini menepi disisi rasa
ketika terselip rasa perih kembali ada
harapan yang menguntai menjadi masa depan
hanya dengan hujan semalam ia sirna
saat semua berakhir dengan sekedipan mata
takdir, karma, atau apapun namanya
menjadi sah letika itu menjadi nyata

bukan,,,bukan,,
tak mungkin menyalahkan hujan yang datang
karena kebencian menutupi cinta
bukan sebuah alasan kala kelok tajam ditepi masa
tak mampu menggores kebenaran
maki saja dengan laknat yang paling indah
karena sumpah serapah pun tak ada guna

jadi,,,biarkan saja
kalau ini bagian dari mozaik kehidupan
(mana ada istana yang runtuh terlihat indah)
sebab bukan kepedihan yang harus diratapi
tapi kepercayaan yang kembali berkeping
harus direkatkan dengan kepercayaan juga
dan itu tak ada

(Buat sahabat yang telah memberi kepercayaan seluruh hidupnya untuk saya bawa, maafkan karena lidah ini terlalu kelu untuk berkata sebaliknya saat melihat pancaran bahagia dari wajahmu)

pintu rumahNya


Saya tidak bisa menggambarkan bagaimana sahabat saya ini, dikatakan aneh sebenarnya normal, namun tidak sepenuhnya juga. Punya kebiasaan aneh selalu mengikuti dan mengomentari apa yang saya pakai, ucap, seolah menjadi bayangan saya. Selalu menyebut diri sendiri dengan kata "kita" bukan saya, dan yang lebih menjengkelkan selalu memanggil saya dengan boss tanpa pernah menyebut nama saya. Orang jawa tapi bergaya logat betawi kalau diajak ngomong siapapun. Kadang saya menakar dari sisi kapasitas intelektual dan pemikiran sebenarnya diatas rata-rata, dan melampaui jamannya, dugaan saya. Siang itu "apes" ketemu dia dirumah sahabat saya yang baru saja pulang haji.

"Boss lama ga ketemu, ente keliatan makin makmur aje, bagi dong resepnya sama kita"katanya dengan logat betawi medok jawa sambil menyeret saya duduk di gazebo halaman rumah. "Kita kemarin keliling ziarah haji ke temen-temen" terus dapat apa tanya saya."Kita malah jadi sedih boss, masa setiap mo pulang selalu didoakan semoga kita secepatnya diundang menjadi tamu Allah " apa salahnya, kan doa itu bagus buat ente."bukannya ga mau berkunjung ke rumah Allah, pengen seh kesana, hanya masalahnya dari dulu kita nunggu undangan itu kaga nyampe-nyampe" Saya tergelak, mungkin alamat yang ente kasih salah kali."Iya juga ya,,,atau emang tu undangan belum waktunya dikasih buat kita,,,kita lum bersih bener, shalat juga masih bolong-bolong, puasa juga hanya sekedar nahan laper ma dahaga doang".Nyindir lu?. "Kaga,,mang kita lum pantas diundang jadi tamu Allah kali ye boss" Trus dapat apa lagi setelah ziarah haji selain doa? "Ini yang kita paling sedih" Hah apa lagi? " Huss jangan keras-keras boss, pelan aja ngomongnya" katanya sambil menjauh dari tamu-tamu yang mulai banyak.

Apa? ente mo cerita apa serius bener?" Boss yang namanya rumah Allah, kita selalu bayangin pasti, damai, hening, sunyi, sejuk seperti ada angin mengalir antara telaga dan sawah: Mana ada di Arab sana sawah, pasir banyak. "oh,,iya yaa,,,maksudnya ada semacam keheningan menurut pemikiran kita" Terus ente dapet cerita apa kemaren."Semuanya sama ceritanye, mereka bilang selama di tanah suci dapet berkah dilancarkan rukun haji, penginapan deket sama masjidil Haram, ada yang nolong waktu berdesakan nyium hajar aswad padahal tuh katanya yang coba deketin tempat itu ampe ribuan. Terus mereka bilang fasilitas hotel juga lumayan mulai dari makanan dan minuman melimpah, minum air zam zam sepuasnya" Lah,,kan bagus tuh kalo mereka lancar berarti hajinya mabrur. "Bukan gitu boss, gambaran rumah Allah yang mereka bilang jauh dari gambaran kita"Maksudnya? "Rumah Allah rasanya seperti gempita, hiruk pikuk dan ramai" Ya iyalah namanya yang berhaji ada 2 juta orang dari seluruh dunia ngumpul disana kaga boleh rame gimana seh. " Maksudnya napa yang diceritain ke kita hanya situasi lahir bukan situasi batin, menurut kita neh boss kaga nampak sengatan spiritualnye" Ahhh,,,sok tahu lu pake istilah sengatan spiritual segala, mana bisa situasi batin diceritakan ma kamu yang sok tau itu. "Kaga diceritain juga kita uda tauu boss, auranya kan bisa ditangkap hehehe,,,kalo caranya gitu kita ragu kalo diundang jadi tamu Allah, kaga kesana juga ga apa-apa" Huss,,,omongan kamu bisa dikategorikan subversib dimata Tuhan. Dia hanya terkekeh

Saya termangu dengan omongan dia, karena ada benarnya juga. Cerita tentang orang pulang haji selalu terpusat pada diri, ego lahir, sehingga sahabat saya tidak melihat ada sengatan spiritual disana. Gambaran dia tentang rumah Allah sebenarnya menggambarkan situasi batinnya ketika berhubungan dengan rumahNya. Wajar dia kecewa, masygul saat cerita tentang rumahNya tak seperti bayangannya. Saya jadi ingat potongan puisi Rumi : "Bertahun tahun kuketuk pintu rumahMu, lama tak terbuka, setelah terbuka baru sadar, ternyata aku mengetuknya dari dalam".
Hmm,,,menurut saya, sahabat saya tadi sebenarnya sudah didalam, jujur saya iri dengan dia,

Jumat, 18 November 2011

mejikuhibiniu


Mejikuhibiniu hafalan saat kita mulai masuk institusi bernama sekolah, untuk mengenal warna merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu lebih sulit dibanding kalau disingkat mejikuhibiniu. Bukan suatu kebetulan jika warna yang kita kenal pertama kali saat itu akan mempengaruhi kehidupan kita selanjutnya. Entah apa yang salah dengan mata, guru yang membimbing kita, atau mungkin kita buta warna kadang menilai sesorang, sesuatu, dari warna yang dikenal. Saat berperilaku buruk akan di cap warna hitam, kalau berperilaku baik menjadi warna putih. Anehnya raport kita akan menjadi merah saat "nilai" di kantor, sekolah mendadak terjun bebas karena "persepsi" yang tidak sama dengan kebanyakan. Sebaliknya kalau baik maka raport itu berubah warna menjadi biru.

Lebih celaka lagi, gradasi warna seperti abu-abu selalu berkonotasi plin plan, jadi gradasi yang bernuansa indah buat saya akan berpotensi di-cap tidak konsisten. Jadi saya harus belajar berhati-hati untuk mengucapkan warna, memberi warna pada sesuatu, seseorang, kalau tidak ingin disalah pahami. Hanya karena urusan warna pula saya agak menghindar agar tidak terkena salah persepsi dari orang lain, karena hari ini mewarnai adalah hobby yang paling mengasyikkan. Salah bicara bisa-bisa akan di stempel merah atau hitam, Namun karena terlalu sering menerima dua warna ini saya punya "mainan" baru, mencampur hitam dan merah dalam kehidupan sehari-hari. Saat ada orang mau berkorban untuk kepentingan kebaikan maka akan saya cap dengan warna merah (berani). Saat saya bertemu orang dengan kearifan yang begitu dalam maka saya akan memberi warna hitam, karena buat saya itu lambang keteduhan.

Bukannya saya anti dengan warna lain, namun dalam kehidupan yang selalu men-cap diri ini dengan warna merah dan hitam, warna ini begitu akrab dan mendarah daging. Setelah bertubi-tubi di bombardir dengan kesalah pahaman, difetakompli, kadang dibenci dan dicaci, dalam segala urusan kehidupan, warna hitam dan merah pada diri ini semakin dalam dan indah. Anehnya saat ketahanan mental saya ada pada batas ambang, tiba-tiba keluar air mata berwarna bening. Terus terang saya takjub sekaligus masygul. Takjub karena apapun cap luar yang diberikan manusia di mata Tuhan ia tetap bening, masygul karena kesalah pahaman ini berawal dari kekurangan kita untuk menakar cinta dan sayang diatas perbedaan yang ada. Saya ingat buku fisika jaman masih SMP, kalau semua warna disatukan maka yang keluar warna putih. Bukankah kehidupan di "mata" Tuhan tetap putih apapun warna yang kita sandang di dunia ini? dan buat saya itu indah.

Sabtu, 12 November 2011

sekantung tahi sapi


Judul itu saya kutip dari sebuah tulisan Gede Prama, entah kenapa judul itu membuat takjub, bercerita tentang kondisi kita saat dihadapkan pada sesuatu yang kurang menyenangkan. Dikisahkan seandainya saat pagi membuka pintu untuk menghirup udara segar ternyata ada sekantung tahi sapi yang masih hangat beraroma "segar" reaksi kita akan menentukan, marah sambil menghitung siapa musuh kita yang berani membuka front sehingga kita akan berfikir untuk membuat perhitungan dengannya. Atau sebaliknya kita malah tersenyum karena merasa "beruntung" mendapat kiriman pupuk buat tanaman yang lama tak terawat.

Kisah ini buat saya begitu inspiratif, bagaimana kekuatan berfikir positif saat "wajah" kita ditampar oleh "tahi sapi",tergantung pikiran kita apakah itu sebuah aib, atau sebuah peluang. Kekecewaan, pengkhianatan terhadap komitmen, ditelikung teman, dibenci, sampai dicaci dari belakang adalah bentuk-bentuk "tahi sapi" dalam keseharian. Namun sebagaimana tahi sapi yang sebenarnya, ia bisa saja membuat diri ini begitu banyak menguras tabungan air mata kita, atau malah sebaliknya bisa menjadi pupuk jiwa untuk menumbuhkan diri ini menuju pendar cahaya.

Saya percaya, jiwa ini dipupuk bukan oleh kesenangan, tapi oleh kesedihan karena menerima ketidak nyamanan apapun bentuknya. Sebagaimana fungsi pupuk dalam tanaman yang akan membuat subur dan rindang, begitu pula jiwa ini akan menjadi rindang dengan kearifan, menjadi lebih muda meski badan termakan usia. Saya memang belum bisa sempurna saat menerima "sekantung tahi sapi", namun saya lagi belajar kesana, menerima semua kesedihan dan kesenangan dalam takaran yang sama.

Senin, 07 November 2011

Titik Nol (re intro to depth)

Ada tempat yang paling saya sukai untuk persembunyian karena disana bisa "telanjang" apa adanya. Ditempat yang menurut saya begitu sunyi memberi ruang seolah jiwa keluar sebentar dari raga. Tempat yang paling menentramkan karena aura kedamaian begitu kentara. Ada tiga tempat favorit karena disana saya seperti 'bermeditasi' tentang segala hal.

Tempat pertama yang saya sukai untuk bersembunyi memulai hari adalah kamar mandi. Pagi hari saat titik-titik air dingin menyentuh seluruh permukaan tubuh seperti merenggut jiwa saya untuk keluar dari badan, disana juga seperti diberi tanda agar tiap pagi berucap terima kasih kepada orang yang disayang, disana pula terucap janji untuk melunasi hutang cinta pada mereka, anak, istri, orang tua dan orang yang memberi pengaruh pada kehidupan atas semua cinta yang mereka berikan sehingga saya menjadi seperti ini. Ada peyesalan karena saya terlalu disibukkan dengan pemuasan ego yang tak pernah putus, sehingga kadang mengabaikan mereka. Ditempat ini pula kejernihan muncul, sehingga semua masalah yang mengendap semalam menemukan solusi.

Tempat kedua yang paling menentramkan ada didalam mobil, saat jalan kemana saja sendiri kabin mobil seperti menjadi istana saya, begitu sunyi karena radio dan tape sengaja saya matikan. Saya seperti ada didalam kepompong tembus pandang dan berjalan. Pikiran mulai menari-nari ketika lalulintas yang sibuk menerpa wajah-wajah tanpa ekspresi, berkejaran dengan waktu. Saya tersenyum sendiri karena dulu pernah mengalami saat api ego saya begitu besar seperti api merah menyala-nyala. Hari ini api itu masih ada namun coba dikondisikan menjadi kecil dan membiru. Bedanya kalau dulu terlalu lelah berkelahi dengan diri sendiri, hari ini saya mencoba untuk bersyukur dengan kondisi apapun. Dapat rejeki bersyukur dicaci dan dibenci bersyukur (anehnya itu malah menentramkan).

Tempat ketiga dimana merasa sunyi adalah mushalla kecil dekat rumah, disana pula saya menghabiskan sejenak waktu untuk sekedar diam. Setelah pulang "ngantor" tempat itu menjadi semacam curahan apapun yang di alami hari ini. Ditempat itu pula selalu berdoa untuk orang yang saya sayangi agar Tuhan senantiasa menggamit tangan lemah mereka, senantiasa diberi kedamaian dan ketentraman, selalu dilonggarkan segala kesulitan dan dilapangkan segala harapan.
Di tiga tempat itulah saya seperti kembali ke titik nol, tempat paling sunyi dimana diri ini seperti me-tiada dihadapanNya, tempat sunyi paling mendamaikan. Entahlah setelah jauh berjalan saya kadang menyesal atas semua kekhilafan sehingga melukai orang yang saya sayangi. Hanya ditempat itu saya memiliki harapan untuk kembali berjalan kedalam, meminta kesempatan agar diberi waktu untuk melunasi semua hutang cinta saya pada mereka. Semoga

Titik Nol


setelah sekian juta detik habiskan waktu
bersama segenap kenang dan cinta
bersama meluruh air mata
sakit, bahagia apapun tanda yang ada
aku tahu itu tanda cinta

memang benar,,,
ada kala benci menjadi selimut hari
saat kemarahan menelikung sunyi
seperti hari memberi warna kelam dengan gurat yang samar
akankah benci dan cinta menjadi lawan tak berkesudahan
sebuah tanda cinta-kah?

ya,,yang indah saat kembali menuju sunyi
seperti kepompong berubah menjadi cahaya
hanya sesaat,,,
tapi cukuplah buat meng-ada
kalau itu tanda cinta