Jumat, 22 Maret 2013

Maret,,,bulan yang akan segera berlalu

Maret,,,bulan ini memang akan segera berlalu
namun tetap saja hujan tak bisa menghilangkan jejakmu
tak pula bisa mengeringkan air mata yang selalu sembab
membasahi hati yang enggan akui
kalau semua waktu hanyalah kumpulan puisi tak terkatakan

Maret,,,bulan ini memang akan segera berlalu
ketika hujan terakhir hanya mau turun di pagi hari
sembari meninggalkan coretan kanvas kenang
tentu,,,tak mungkin hapus semuanya dengan menangis
karena yang harus dilakukan hanyalah berdoa
kalau semua akan berakhir dalam diam, sunyi dan lena
saat itu,,, Tuhan pun mulai bicara
(happy birthday Adinda Syifa Fadhillah,,,,:-D,,,)

Minggu, 17 Maret 2013

waktu dan udara bicara

waktu:
berapa yang kau pinjam akan di kembalikan
sejak matahari terbit sampai tenggelam
sejak engkau lahir hingga menjemput kematian
berhitunglah seberapa sanggup waktuku bisa di kembalikan
niscaya tak sedetik pun bisa
karena aku tak berjalan kebelakang hanya ke depan

udara:
seberapa sanggup engkau bisa
saat aku menemuimu dalam makna
merasuk dari darah sampai nadi
hingga merasuk dalam DNA
ada disanakah engkau menemuiku?
niscaya engkau selalu terlelap untuk melupa

Jadi seberapa mampu untuk mengembalikannya
atas semua yang kami punya
tak sedetikpun engkau sempatkan untuk me-rela
sedang ikhlas cinta kami tak terkira
yang harus engkau lakukan
mengembalikan semua hutang cinta
dengan menemuiNya dalam kemesraan tak terkira
(aku hanya tergagap, entah kenapa betapa diri ini begitu kecil dihadan mahluk Tuhan yang bernama waktu dan udara)

Jumat, 15 Maret 2013

doa dan secangkir kopi

secangkir kopi di pagi hari
seperti ritual doa yang tak boleh lupa
ketika hangatnya mulai merasuk darah
ketika kafein-nya memberi adiksi
seperti khusuk dalam kekeringan hidup
bukankah sebait doa cukup hilangkan semua
menghirup semua kelelahan dan bahagia jadi satu
hilangkan waktu, esok dan masa lalu
larut dalam dekap kehangatanNya

Sabtu, 09 Maret 2013

kenang-kenanglah kami

kenang-kenanglah kami
dalam sisa pengembaraan sebentar lagi
setelah berkelok waktu menemui
tak ada sisa penat, hanya bertemu bilik ruhani

kenang-kenanglah kami
dengan lantun doa tentang kebesaran jiwa
kalau hidup akan lekang dalam penerimaan
dengan memberi dan memberi

kenang-kenanglah kami
dalam untaian syair menyebut kebesaranMu
kelak saat sang jiwa telah siap menepi
ia akan datang menuju telaga sunyi
tempat semua awal dan akhir bertemu lagi

di ceruk pagi

diceruk pagi
tinggalkan sisa penggal mimpi
hanya pastikan kalau realita
datang untuk menepis asa
batasnya embun yang sebentar lagi sirna
jadi, hidup yang terangguk untuk membakar kecewa
selalu melantunkan lagu tentang indahnya :
hari ini terbaik untuk kita nikmati
kalau ada ketakutan tentang esok
biarkan nanti,,, menyublim menjadi senja
niscaya kita akan dapati sang jiwa
menebar senyum betapa indah selalu mendekat padaNya

Kamis, 07 Maret 2013

Puisi, bukanlah etalase kata indah

Siapa bilang saya bisa menulis puisi
siapa juga yang bilang saya mahir menoreh kata indah
definisi puisi tak juga saya mengerti
apakah ia identik dengan kata-kata indah
atau semacam tulisan bernada picisan,,,
entahlah

Buat saya, puisi yaaa,,, puisi
tak perlu diterangkan apa-apa
puisi hanyalah ungkapan jiwa lewat kata
tak perlu dipahami keindahannya kecuali
dengan rasa

Puisi bukanlah etalase kata indah
dengan bahasa yang kadang tak dimengerti maksudnya
puisi juga bukan show room kata-kata
ia keseharian hidup yang menjelma
tak perlu disematkan dengan ini itu
biarkan apa adanya
sebab ia hanya wajah lain dari kejujuran
tempat dimana keindahannya berada

Rabu, 06 Maret 2013

ini yang lama saya rindui (khittah)


Pada awalnya,,,saya bikin blog ini menjadi semacam kamar pribadi tempat menuangkan semua penat, seperti tempat istirahat untuk saya dan sahabat yang mau melihat kedalam. Sebagai tempat istirahat, saya bebas menuangkan apapun saja tanpa harus dinilai estetikanya. Kamar yang saya beri jendela yang lebar sehingga angin segar pagi dan sore bisa masuk dan kepenatan menjadi sirna hanya dengan mengamati dan berdiam diri disana. Saya pun bebas untuk berekspresi apapun jua tanpa harus takut dengan dikotomi baik-jelek. Saat itu semua berjalan, betapa indahnya ketika menulis menjadi seperti kegiatan bernafas, mengalir begitu saja, mirip dengan seorang petani di sawah bersenandung pujian pada tuhan tanpa harus takut suaranya di cap bariton kek, tenor ke atau fals.

Namun seperti hidup yang mesti berjalan , lama kelamaan banyak tetangga yang melihat isi kamar ini dengan segala komentar. Awalnya heran, lama-lama,,,ini mulai adiksi : narsis sehingga saya terjebak dengan cap, ego mulai muncul. Ibaratnya, kamar pribadi saya mulai dilihat begitu banyak pasang mata sehingga tanpa saya sadari saya mulai menata diri dengan ucapan : ga enak ahh,,,dilihat orang kok bikin tulisan sembarangan (memang tulisan saya bagus apa?) Lama-kelamaan malah jadi bumerang, kalau saya lagi narsis tapi sedikit yang lihat jadi sedih, dan diri ini melambung saat pesona tatapan banyak mata melihat saya sedang bergaya. Saya jadi fashionable untuk tulis menulis karena takut gak banyak mata yang melihat, saya jadi malu untuk telanjang apa adanya. Akibatnya teramat fatal, tulisan yang sebelumnya mengalir bagai bah lama-lama menjadi kering. Awalnya saya tidak tahu kenapa itu terjadi, namun menjadi sesak saat makin banyak orang tak mau melihat pertunjukkan saya. Hasilnya, kamar pribadi tempat saya dan beberapa sahabat untuk rehat kian muram, sahabat pergi saya terbata-bata tanpa sempat bertanya kenapa.

Saya mulai jarang menyambangi kamar ini, ada semacam kekeringan disana bukan kehangatan, jendela yang kemarin selalu gempita, hari ini terlihat kusam. Saya mulai jarang menulis bukan tak bisa tapi semakin sesak saja . Awalnya tulisan saya buat sebagai muara sekarang menjadi makin menyakitkan ketika terjebak dengan pesona pujian. Entah kenapa Gurpan pun makin hari makin asing dimata saya. Banyak yang hendak dikatakan namun hanya menetes di ucapan tak bisa lagi jari ini menari nari mengikuti benak dengan liukan tarian demikian indahnya sampai hendak seperti "trance". Saya makin sadar, kekaguman terhadap pujian telah membuat diri ini menutup pintu dari mata air yang selama ini mengaalir lewat jari-jari saya, terlepas itu bening atau kotor. Belakangan saya menyadarinya sehingga perlu waktu untuk kembali hingga seorang sahabat baru-baru ini bilang : "Bagaimana mungkin kamu bisa hidup dengan tepukan dan kekaguman banyak orang kalau ini malah membutakan. Tuhan yang menciptakan firmanNya saja tidak nervous saat kitab sucinya tidak banyak dibaca orang".

Ya,,ya,,ingin rasanya rasakan telanjang seperti dulu, tanpa peduli apakah itu mengagumkan atau tidak, yang penting hanya menulis dan mengalir tanpa cap ini itu, semuanya serba mengalir. Ini yang lama saya rindui