Jumat, 31 Juli 2015

saat-saat,,,


Beberapa hari ini mengalami momen yang luar biasa, pertama saat menemani sahabat yang mengalami kesedihan tatkala apa yang diupayakannya telah lama akhirnya kandas, tanpa perlu menyebut apa, hingga malam saya menemaninya,,ya menemani dalam diam dan termangu, bukan galau, ini mirip gabungan puncak kesedihan dan rasa tak percaya. ini mirip kondisi beberapa tahun silam saat saya alami hal yang sama. ada semacam kebuntuan namun meleleh teramat perlahan, entah kenapa  kemarin pun menikmati berbagi kesedihan dengan sahabat. Hidup memang berganti antara tawa-sedih, dan kali ini bagian sedih ada di pintu depan hati. Esoknya sahabat tersebut berganti ketawa-tawa sembari melihatkan koleksi batu akiknya. Gantian saya yang sudah terlanjur menghayati kesedihannya malah gagal move on.

Momen lainnya adalah ketika teman sekelas di SMA tumben-tumbennya ngajak reuni, setelah lama dan hampir semburat di pelosok negeri ini, tiba-tiba kabar itu datang. Tentu saja  terheran dan hampir sebagian telah lupa wajah-wajah itu. Anehnya hanya dengan tertawa, bisa ingat namanya.  Nama yang dimaksud adalah nama panggilan, bukan nama asli. Ada yang berbau binatang, ada yang dipanggil nama bapaknya (walau bapaknya telah wafat). Waktu seperti ditarik ke masa lalu dengan wajah yang tidak cupu lagi, namun semangatnya menderu :-). Satu hal yang bisa ditarik adalah wajah-wajah gembira. Saya tahu betul kisah  apapun ronanya entah sedih, senang yang terjadi dulu, saat menjadi kenangan rona sedihnya hilang menjadi tawa. Dan cerita yang mengalir begitu luar biasa, tahu betul detail kejadian saat SMA dulu. Rupanya kenangan itu yang membekas dan dibawa hingga dewasa.

Dua hal yang beda momen namun  mengalaminya dalam waktu yang bersamaan, satu hal yang bisa diingat adalah apapun situasi yang dialami, kesedihan maupun kegembiraan, semua menguras energi yang teramat besar. ketika sedih kita seperti terlempar ke bawah jurang yang dalam tanpa tahu akan kemana. Ketika bahagia, energi juga terkuras namun sebanding dengan rasa senang seperti menemukan diri ini dalam tanda " tanpa tendensi apa-apa. Inilah yang dicari semua orang. Apapun level pekerjaan, sosial, maqam yang disandang, saat dikembalikan ke masa lalu ketika kita tak punya apa-apa justru yang diingat kejadian kekonyolan, dan anehnya ini yang paling diingat. Pelajaran yang bisa saya ambil dari dua momen tersebut adalah, apapun kesedihan kita hari ini,,,kelak itu akan kita kenang dengan tawa. Kita selalu ingin kembali pada saat kita tak menyandang status apa-apa karena saat itu kita dihargai sebagai manusia, bukan predikat yang disandang. Ujung-ujungnya kalau kita tarik kembali adalah, manusia bisa jadi manusia bukan pada saat meng-ada namun ketika meniada, buat saya ini indah.









Rabu, 29 Juli 2015

kami


kami hanya mencari jejak, menelusuri dan berjalan
itu saja

bahkan tak perduli bila doa yang kami panjatkan
menemuiMu lantas dikabulkan atau tidak
sekali lagi tak peduli

kami hanya ingin merunutMu, mendekat bukan dengan doa,,namun dengan,,
laku,,,ya laku yang akan membawa langkah ini padaMu
laku untuk keindahan dalam kebaikanMu

kami tak peduli seperti apa, dalam level maqam yang bagaimana
karena kerinduan itu telah meluap mengisi ubun ubun

bila kelak ini hanya berakhir di asa
kami  berharap,,, apapun kehidupan
ujungnya hanya meniada

Selasa, 21 Juli 2015

Reuni

Lebaran selain kumpul keluarga juga jadi ajang reuni, entah smp, sma sampai reuni dengan teman kuliah. Beberapa tahun ini saya lihat reuni di barengkan saat libur lebaran memang jadi trend. Kumpul dengan teman yang lama tidak kita temui memang menyenangkan, banyak cerita yang didapat dari mereka selain nostalgia saat masih polos dulu. Tidak semuanya hadir memang, bahkan ada yang minder buat datang malu bertemu karena  menganggap dirinya tidak "sukses" , pertanyaannya. yang datang ke reuni itu  sebenarnya ingin " pamer" jati dirinya sekarang, atau ingin ketemu temen lama, atau syukur2 ketemu mantan dulu :-D .

Masa sekolah, kuliah, ibarat pembentukan jadi bibit, bibit apapun, karena sekolah tidak menentukan harus jadi bibit jagung, padi, mangga, pohon, bahkan rumput. Kehidupanlah yang akan menentukan kita akan jadi bibit apa. Dalam perjalanan memang ada beberapa teman kita jadi pohon yang menjulang, yang lain jadi padi, ada yang jadi rumput, bahkan ada yang jadi tanah. Semuanya tumbuh sempurna di habitat masing2, dan memberikan "kontribusi yg sama pada kehidupan". Sehingga bila ada yg merasa telah jadi pohon besar merasa kontribusinya pada kehidupan juga besar dibanding padi bahkan rumput, apakah mereka yang jadi tanah dan membesarkan pohon kita nafikan juga kontribusinya?. Apapun diri kita hari ini semuanya sedang bergerak tumbuh, yg pohon makin menjulang, padi makin menunduk, rumput makin menyebar, tanah makin menyuburkan, semuanya punya tugas mulia.

Jadi reuni sebenarnya adalah mempertemukan semua dalam sebuah wadah bagaimana cara bersyukur dengan rendah hati tanpa memandang sebelah mata kalau teman favorit di sekolah dulu, sekarang hanya sekedar jadi ini itu. Kalau masih ada yang seperti itu saya hanya trenyuh dan kasihan, sekian lama waktu dihabiskan hanya untuk melihat keluar, rumput ingin jadi padi, padi ingin jadi pohon, pohon ingin jadi gunung. Saat itu saya tanyakan ke tanah ia hanya tersenyum dan menunduk, entah malu atau minder karena tempatnya paling bawah. Belakangan saya tahu kenapa tanah spt itu, ia hanya tak ingin terlihat karena sebenarnya ia adalah bumi tempat kita semua bernaung. Ganti saya yang minder :-) 

Jumat, 10 Juli 2015

ikhlaskah kita




serahkanlah hidup dan matimu
serahkan pada Allah semata
serahkan duka gembiramu
agar damai senantiasa hatimu

Penggalan lirik lagu novia , mungkin teramat mengena buat saya, karena bagaimanapun rona hidup yang naik turun, dalam hati diri yang masih lemah ini, ada bibit-bibit untuk menyangkal. Namun sebagaimana kita harus belajar ikhlas, pada titik tgertentu, entah saat kita di titik nadir atau kulminasi, kutub yang bertolak belakang, akan memiliki masalah yang sama, bertanya dengan satu hal : hendak kemana hidup ini?
Lagu diatas bukan berarti pasrah dalam bentuk pasif, menyerahkan seluruh hidup kita bermakna, apapun yang kita lakukan saat ini, harus punya muara. Segala hal kebaikan, keburukan yang pernah kita lakukan, harus ada muaranya. Hidup bukanlah tanpa kepastian, ia juga keniscayaan. Ikhlas dengan menyerahkan semua kehidupan ini menyadarkan diri kalau semua yang kita lakukan berakhir padaNya, bermuara padaNya. Hanya pernahkah kita ikhlas secara total seperti lirik diatas? ketakutan, ketidak pastian, dominasi ego, pengejaran materi dan duniawi,  hal yang akan meragu untuk berbuat seperti lirik diatas.Saya saja masih harus belajar untuk itu, lagu ini memang easy listen,namun maknanya very heavy

Sabtu, 04 Juli 2015

jeda

sajak-sajak tak bernama
ia tak perlu untuk di aku dengan kata-kata
atau klalimat yang bersahaja..tak perlu
karena itu hanya menambah duka

karena disisa kepulan asap tembakau terakhir
mengisyaratkan disini berhenti 
tapi bukan dengan menghilang,,,
yaa,,yaa menghilang bersembunyi
dibalik ketakutan masa lalu
entahlah


disana


Dekaplah kami dalam riak waktu
karena keabadian hanya jejak dahulu
alirkan aku dalam heningMu
hingga nanti  memberi makna rindu

Kenanglah kami di untaian doa
ritmisnya seperti kidung sunyi dari surga
mennagislah kami dalm sujud tak terhingga
meratapi betapa waktu hilang hanya untuk hal sia sia

Karena kami tahu tak sempurna
di tempat ibadah kusyuk seperti suci tak bernoda
di keramaian kami saling tikam tanpa jeda
bukankah ini kehidupan nyata 
ahhh,,,sandiwara apa lagi yang kami bawa

Telah sekian lama kami terlalu berani menipuMu
berdagang untung rugi denganMu
setiap ada kemalangan, padaMu kami mengadu
saat berjaya, entah terselip kemana namaMu

Dekaplah kami dalam riak waktu
segala ampunan tak bisa menebus dosa
ijinkan kami terlelap sebentar di rumahMu
mungkin esok hanya tinggal asa terakhir yang kami punya

Kamis, 02 Juli 2015

ramadhan


"ketika keikhlasan membuat semua dalam genggaman, masih relevankah bertanya tentang ukuran"
#Gede Prama-Kebahagiaan yang membebaskan

Setiap ramadhan selalu memberikan nuansanya sendiri dari tahun ke tahun, seperti tahun ini seperti memberikan "view" indah. Tahun ini saya lebih banyak puasa di Tuban dengan cuaca yang biasanya panas, untungnya telah memasuki musim bediding/dingin sehingga suhu juga sedikit sejuk. Namun yang lebih penting, setiap ramadhan selalu ada keajaiban sendiri, keajaiban pertama ternyata puasa tahun ini diberi berkah dengan pendalaman yang intens tentang makna puasa itu sendiri. Yang kedua, anak semata wayang saya hadir seperti mengucapkan selamat berpuasa untuk ayahnya. Dan yang ketiga mungkin agak berlebihan namun nyatanya begitu, saya diberi kesempatan untuk bisa tarawih di sebuah masjid di Tuban peninggalan yayasan muslim pancasila, dan masih asli arsitekturnya. Masjid yang dibangun di jaman era pak harto seperti kebanyakan, telah banyak menghilang sisi arsitekturnya yang khas segi lima. Namun disini masih tetap dipertahankan. Bisa tarawih adakah hal yang saya rindui karena suatu sebab kadang tahun tahun kemarin tidak bisa saya lakukan.

Puasa, menjadi semacam tempat, menjadi oase yang selalu saya rindui, bagaimana tidak, puasa menjadi tempat asyik masyuk kita bermesraan denganNya. Kita bisa curhat tentang apapun denganNya dan langsung didengar. Mau minta ini itu, pangkat, rejeki, dunia atau apapun semuanya bisa dihaturkan di bulan puasa. Dalam bahasa sederhana, puasa adalah tempet pertemuan kita secara spiritual denganNya secara langsung. Begitu banyak keiistimewaan bulan ramadhan sampai-sampai disaat akhir ramadhan begitu kentara salam perpisahannya dengan awal suara takbir. Disana kadang kita meneteskan air mata. Perjumpaan yang singklat hanya untuk menunda tahun depan hal yang belum tentu akan kita jumpai.

Seperti kutipan diatas, puasa sebenarnya melatih kita berjarak dengan ego, membentuk ikhjlas yang true ikhlas, real ikhlas. Saat itu sampai, semua bentuk ukuran dualisme : sedikit-banyak, tinggi-rendah, kaya-miskin, megah-sederhana, pejabat-pegawai hanya pernak-pernik yang tidak begitu penting, semuanya tenggelam dalam keikhlasan untuk mencapai ridhaNya. Hanya kadang, puasa menjadi hal seremonial belaka, gebyarnya hanya diawal dan akhir, selebihnya berakhir begitu saja tanpa mendapat apapun juga. Tapi begitulah, kadang sebuah momen terlewat begitu saja tanpa menyisakan jejak kearifan sampai waktu mendatangi untuk berkata : usai