Selasa, 25 November 2014

anakmu anakku, anak kita


Awalnya agak jengah saat bertemu kolega, saudara teman dsb diawali dengan pertanyaan : putranya berapa? ketika saya bilang tidak ada, dahi mereka sekilas mengernyit tanda heran dan kemudian saya harus panjang lebar menerangkan dengan panjang lebar dan diakhiri dengan ucapan dari mereka : maap dan tanpa sadar sering dengan mengguman bilang : kasihaannn,,,nanti kalau tua ikut siapa,,,nanti kalau meninggal gak ada yanmg mendoakan nanti kalau tua gak ada yang ngurus bal,,bla,,bla. Tentu yang paling tertekan dulu adalah anak mertua seolah menjadi tumpahan kesalahan karena bibit padi tidak tumbuh di sawah.

Tapi begitulah hidup, setiap menanam padi berharap padinya subur, setiap menanam buah, buahnya manis, tiap menanam bunga pasti berharap bunganya wangi. Entah kenapa alam selalu memberikan alternatif anomali kehidupan, dan siapa yang berhak menyandang anomali itupun menjadi rahasiaNya (menurut saya hingga saat ini). Tidak punya anak mungkin buat sebagian besar masyarakat adalah bencana, tidak mempunyai keturunan sama saja melihat tanaman tanpa buah. Mungkin DNA ini diturunkan oleh nenek moyang kita dari bercocok tanam dulu. Namun saya mafhum kalau kondisi ini menjadi tekanan tersendiri bagi kultur masyarakat kita yang mengaku modern namun masih tidak bisa meninggalkan budaya agraris.

Bagi saya, hal demikian akan menjadi alasan untuk membela diri dengan tulisan sok ilmiah dan sok spiritualis :-). Begini, ditinjau dari sudut kesehatan kami tak masalah, pernah ada Adinda putri semata wayang saya. Perkara hari ini tidak/belum ada penggantinya itu hanya akan jadi rahasia kami dengan Tuhan. Apakah Tuhan akan marah karena tidak ada anak lagi, jangankan punya anak, Tuhan disekutukan dengan yang lain tidak akan marah, dalam bahasa manusia : emang Gue pikirin, alias gak level atau EGP ngurusin hal demikian. Urusan Tuhan hanya masalah keadilan yang diberikanNya namun difetakompli oleh beberapa manusia serakah, Beliau pasti marah dan hukumannya bisa langsung. Lantas nanti siapa yang ngurusin tatkala kami menua,,,jawabannya entah kami gak tahu, 10-20 tahun lagi tetap menjadi rahasiaNya, orang rejeki dan kematian adalah hak prerogatif Nya, jadi biarlah itu akantetap jadi wewenangNya, saya manut saja. Perkara nanti gak ada yang mendoakan, saya bilang gak perlu didoakan gak apa-apa, biar Adinda yang nego sama Tuhan untuk hal yang begituan, karena Adinda lebih dekat denganNya.

Jadi hari ini mungkin yang belum diberi momongan atau yang tidak diberi momongan, percayalah ada skenario lain yang Beliau arahkan untuk kita. Saya sering ibaratkan dengan rel kereta api,rel  yang sebelah kanan misalkan punya anak, yang sebelah kiri gak punya anak, namun sma-sama berjalan ke depan untuk kelak akan menemuiNya. Tidak boleh saling menyalahkan, tidak boleh saling meng-klaim dirinya lebih baik. Nikmati saja dengan apa yang diberikan, bersyukur dengan kondisi yang ada, just flow it. Ada joke : seorang duda beranak 2 menikah dengan seorang janda beranak 1, dari hasil pernikahan itu mereka mempunyai anak 2 lagi. Suatu hari telpon berdering di kantor si bapak : Paa,,,cepet pulaaang, anak-anakmu dan anakku mengeroyok anak-anak kita,,, ,:-D







Tidak ada komentar:

Posting Komentar