Jumat, 23 Desember 2011

Tuhan dan sepak bola


Saya tidak habis pikir kenapa sepakbola di Brazil dikiaskan menjadi agama. Tapi memang negeri itu banyak melahirkan legenda sepak bola seolah talenta disana tak ada habisnya. Namun untuk kiblat sepakbola saya malah pengagum Belanda dengan total football-nya, keindahannya memang tidak bisa mengalahkan negara Amerika Latin, namun daya serang yang melibatkan seluruh pemain buat saya mengagumkan. Sedangkan untuk klub mengaku menjadi Romanisti, bagaimana keterikatan fans dan pemain saat laga di lapangan begitu kental.

Lantas apa hubungan sepakbola dengan Tuhan? ada beberapa hal, pertama, secara filosofi sepak bola berke-bolaan yang esa, hanya ada satu bola di lapangan yang dimainkan 22 orang ( bukankah ini mirip dengan berketuhanan yang maha esa?). Bayangkan kalau bola sepaknya di lapangan lebih dari satu, bukan saja permainan menjadi tidak menarik namun jadi sumber kesemrawutan, sama dengan Tuhan Yang Esa, kalau lebih dari satu pasti bencana. Kedua, sepak bola membuat orang menjadi dekat dengan Tuhan, seperti sahabat saya yang melakukan shalat istiqara, agar timnas Indonesia menang dalam Seagames kemarin. Walau hasilnya timnas gagal merebut emas, sahabat saya berkilah kalau saat final dia kurang khusuk, dibanding supporter dari jiran. Ketiga, hanya sepak bola yang mampu melunturkan sekat ras, sosial, kasta ekonomi, semuanya menyatu dalam kekhusukan satu bola sepak. Bukankah ini juga yang diisyaratkan Tuhan? di"mata" BELIAU hanya orang khusuk yang diterimaNYA, bukan pangkat, harta, dan kepintaran.

Bayangkan total football Belanda menyerang seperti air bah dengan secepat kilat kembali bertahan, tanpa kenal lelah mengejar bola dimanapun berada. Bukankah dalam berketuhanan kita harus total, disudut manapun posisi kita, sebagai centre bek, deffender, striker, libero, pemain sayap, tetap istiqamah mengejarNYA. Saya juga mengagumi bagaimana keakraban Romanisti dan pemain di lapangan, begitu dekat layaknya sahabat. Entahlah dalam berketuhananpun mestinya begitu. DidepanNya kita pantang kurang ajar, tapi bukan berarti kaku seperti atasan-bawahan. Bukankah BELIAU pernah bilang : AKU seperti yang engkau sangkakan. Saya kadang membayangkan BELIAU berwajah ramah bukan marah, layaknya sahabat seperti Romanisti dan pemainnya. Anehnya saat Tuhan "berwajah" ramah kehidupan pun berubah menjadi lebih bersahabat.

Kadang saya berandai-andai, apakah negara yang sepak bolanya maju, wajah penduduknya lebih toleran dengan perbedaan ? saat melihat diri sendiri saya takut, sepakbola kita memang akan terus maju, tapi jadi ngeri melihat tawuran ketika klub kebanggaannya kalah,. Apa Tuhan "berwajah" pemarah, sehingga tak henti-henti negeri ini menerima cobaanNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar