Jumat, 01 Juni 2012

menca(u)ri start terdepan (kejernihan yang hilang)


Penat,,,mungkin kata yang tepat setelah seharian bergumul dengan berbagai persoalan yang ditemui hingga baru tengah malam lewat masuk kamar. Penat tidak saja fisik, tapi pikiran, awalnya juga tidak tahu kenapa hari ini mengalami distorsi dari beberapa orang sahabat yang saya temui. Hidup memang tak bisa lepas dari masalah, saya menjadi maklum kalau kena radiasi masalah itu sendiri. Ada yang berkelahi dengan diri sendiri, ada yang berkelahi dengan keinginannya sendiri, ada yang berkelahi dengan pekerjaan hanya untuk menemukan posisi. Dan yang parah beberapa sahabat saya berkelahi dengan diri sendiri dan orang lain. Ujungnya kelelahan luar biasa (tidak bisa dibayangkan orang yang mengalaminya).

Di dalam kabin libom baru bisa mengerti kenapa seperti itu,  pangkal dan ujungnya ternyata hanya satu, mencari kejernihan. Entah kenapa kejernihan yang mereka pahami dicari lewat posisi terdepan dalam peta kehidupan. Ibarat lintasan lari atletik, mereka selalu mencari ( atau mencuri) tempat start  nomor satu padahal jarak lintasannya sama. Dalam hidup juga demikian, ada yang ingin ter-(kaya, pandai, hormat, hebat, tinggi, besar),  intinya ingin paling depan seolah mereka akan sampai dulu. Padahal lintasan waktunya sama, 24 jam.

Teapi "kaca mata" Tuhan tidak sama dengan manusia, start terdepan atau belakang hanya urutan yang setara, tidak ada yang lebih baik atau buruk hanya gara-gara didepan dan belakang. Beliau hanya melihat dua hal saja, kesungguhan dan fokus. Makanya jarang saya lihat atlet lari begitu start akan menengok kebelakang atau kanan kiri. Mereka akan berlari sekencang mungkin dengan fokus ke depan. Buat Tuhan nilainya bukan ditentukan siapa yang finish dulu, tapi seberapa fokus dan sungguh-sungguh.
Hari ini banyak sahabat saya yang memiliki start terdepan dalam hidupnya dengan diberi keleluasaan oleh Tuhan berupa kepintaran, kekayaan, kekuasaan, sehingga perkiraan saya mampu menoreh tinta emas dalam sejarah hidupnya dan hidup orang banyak. Namun apa daya, anugerah itu malah menjadi beban yang menyeret kepedihan dari waktu ke waktu. Sehingga pada titik tertentu, mestinya telah menemukan kejernihan, masih saja berkutat dengan air yang keruh. Terpaku dengan masa lalu, ego yang besar, salah satu hal yang membuat kejernihan itu menghilang. Saya jadi teringat potongan kalimat Gibran : Bagaimana mungkin mencapai keindahan bila cara-cara kita tidak indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar