Jumat, 19 Agustus 2011

Jendela


Saya teramat beruntung mengenal nama-nama ini, karena merekalah yang memberi jendela dan dipaksa untuk melihat keluar apa yang sesungguhnya terjadi ketika melihat melampaui logika dan pikiran. Apa yang terjadi saat dipaksa untuk tidak menggunakan logika dan pikiran, sama saja buta (menurut saya saat itu). Namun akhirnya tahu dibalik semua itu hati telah memberi ruang dalam frame kehidupan saya dan jangkauannya melebihi jarak dan era. Awalnya saya teramat takjub bagaimana mungkin dengan keselerasan hati bisa menjangkau jauh ke "masa depan" sehingga terkagum-kagum dengan mereka.

Orang pertama yang saya kenal baik secara fisik maupun lewat karyanya adalah Emha Ainun Najib. Saya mengenalnya lewat ceramah yang dilakukannya dari kampus ke kampus dan tahu karena saat itu Beliau tidur di asrama mahasiswa. Saya tidak begitu mengenal puisinya kecuali ceramahnya lain dari Da'i yang seumur bahkan lebih tua darinya. Buku pertama yang saya baca adalah kumpulan esai dan puisi yang berjudul seribu masjid satu jumlahnya. Buku itu berhasil memporak porandakan cara saya berkeyakinan dengan Tuhan. Bagi Emha, berketuhanan dilakukan teramat puitis, cenderung akrab dan karib bahkan mesra, bukan karena ketakutan semata. Bahkan puisi yang saya buat (kalau boleh itu disebut puisi) banyak terpengaruh dengan puisi Emha, kata-kata yang sederhana namun memiliki makna yang dalam, hanya bisa terjadi tatkala telah jauh masuk dalam kehidupan

Orang kedua yang berhasil merubah mindset saya tentang idealisme adalah GM alias Goenawan Muhammad. Waktu itu cukup maniak dengan tulisannya di majalah Tempo di rubrik caping alias catatan pinggir. Tulisannya sebenarnya cukup mengena dan penuh kiasan karena mendobrak tentang ketidak adilan di jaman orba. Ada hal yang saya ingat sampai sekarang penggalan tulisannya : Idealisme tanpa pijakan realitas mejadikan orang pemimpi sekaligus pembohong, realisme tanpa nilai ideal menjadikan orang hidup tanpa martabat.

Semenjak itu saya banyak melihat "jendela"dari karya mereka, mengenal orang yang memiliki kemampuan hebat seperti M.Sobary, Jalalludin Rahmat, Quraish Shihab, Umar Kayam, Dale Carnegie dll dan teramat asyik mengikuti alur berfikir mereka lewat karyanya. Akhirnya ini memberi semacam banyak warna pelangi dalam nuansa pikiran saya yang waktu itu masih berproses mencari.

Orang terakhir yang memberi saya jendela cukup lebar adalah Gede Prama, lewat bukunya saya bisa tahu bagaimana Gede Prama bermetamorfosis dari ulat-kepompong dan menjadi kupu-kupu. Secara fisik saya tidak kenal beliau namun dari bukunya bisa tahu bagaimana cara mengenal diri sendiri. Pikiran Gede Prama banyak mempengaruhi kehidupan saya. Bayangkan, saya telah lama membenci apa yang dinamakan sepi, dan telah bersusah payah untuk menghapusnya dari kamus kehidupan. Kesepian adalah mantra yang cukup kuat untuk membuat saya langsung tersungkur. Namun beliau mengatakan bahwa sepi adalah bahasa terindah Tuhan. Sepi adalah tempat semuanya berawal dan berakhir. Sepi adalah puncak kesempurnaan.
Saat itu maknanya tidak saya mengerti, namun setelah mengenal kematian dari orang terdekat, bagaimana mereka sebelum dipanggil Tuhan mengalami kesepian luar biasa, akhirnya saya mafhum, sepi adalah cara Tuhan untuk memberi tahu bahwa AKU dekat, sepi adalah pintu masuk ke rumahNya. Sehingga saya berkesimpulan bahwa kehidupan yang indah adalah melewati "jalan sunyi" baik sunyi dalam arti kiasan maupun sunyi dalam makna yang sebenarnya. Kenapa? yaa,,,menurut saya ada keindahan disana, ada puncak spiritual yang tidak bisa digambarkan oleh kata-kata.

Jadi,,,mungkin benar kata orang bahwa diri ini sebenarnya bukan setumpuk daging yang berdarah, namun diri ini tumbuh dari tumpukan pengalaman. Potongan pemikiran dari orang yang saya sebut diatas yang membentuk saya hari ini. Ada persamaan diantara mereka menurut saya yaitu kesederhanaan dan keikhlasan. Hal yang teramat sulit untuk ditemui hari ini,,,:-)
Makanya saya tidak kaget saat melihat orang-orang yang saya kenal baik masih saja menggendong masa lalu dan menatap masa depan dengan skeptis, tanpa arah, tumpukan pengalaman mungkin telah membuatnya seperti itu, namun bukan berarti tidak bisa dirubah, dengan berjalannya waktu, dengan pengalaman yang baik, secara perlahan akan memberikan ruang bagaimana kebahagiaan dalam definisi yang sebenarnya hadir. Kebahagiaan bukan saja damai dari rasa kekurangan baik materi maupun jiwa, namun damai dalam tiap detik yang berjalan. Hanya saja saya jadi nelangsa saat orang yang telah lama berjalan jauh dalam kehidupan dan hampir kembali menghadap Tuhan namun masih belum menemukan apa yang mereka cari. Ini ironi,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar