Selasa, 17 Januari 2012

ngaji di mall



Lir Ilir, Lir Ilir, Tandure Wis Sumilir,Ta’ ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar,Cah angon, cah angon, penekna blimbling kuwi Lunyu-lunyu penekna, kanggo mbasuh dodot iro,Dodot iro, dodot iro, kumitir bedah ing pinggir,Dondomono jlumatono, kanggo sebo mengko sore, Mumpung padhang rembulane, mumbung jembar kalangane,Yo, surak-o, surak hore (Sunan Kali Jaga)

Keindahan dalam definisi Tuhan kadang ditampakkan dengan sebuah kontradiksi, atau paradoks. Di alam, keindahan itu terlihat kental saat perpindahan sore menuju malam, malam menjelang pagi, kontradiksi dari situasi yang beda membuat masa transisi begitu indah. Lihat saja sunset dan sunrise, bukankah itu transisi ekosistem malam /sore menuju pagi/malam. Di belahan dunia, pantai yang indah selalu diikuti dengan laut yang tenang dan daratan yang indah. Padahal dalam sebutan ekositem perairan, pantai adalah "neraka" bagi sejumlah hewan air. Yang tak disadari, pasir putih yang indah sebenarnya adalah "bangkai" sejenis karang, sebuah hewan laut yang peka dengan perubahan ekosistem. Jadi keindahan di pantai disisi lain adalah jebakan mematikan buat sejumlah binatang air.

Dengan atas nama keindahan pula mahluk bernama manusia kadang memanipulasi kontradiksi ini. Misal, definisi kecantikan pada wanita selalu berujung pada kondisi bentuk tubuh tertentu yang menurut saya cenderung tidak masuk akal dan tak sehat. Tidak sehat? yup,,,bagaimana mungkin untuk mencapai kondisi yang diinginkan mereka mau untuk diet super ketat. Nisbi,,?may be.

Apa yang ingin saya katakan adalah keindahan artifisial hari ini telah sedemikian canggih sehingga menjadi jebakan yang menyenangkan. Definisi sukses telah bergeser dari kemampuan seseorang menterjemahkan tujuan hidup menjadi kemampuan untuk memiliki sejumlah barang (sah saja menterjemahkan hasil kerja keras, namun saat ini menjadi adiktif, sukses telah bergeser definisinya). Sehingga tidak aneh kalau mall menjadi pusat-pusat keramaian karena disana banyak sekali keindahan. lampu-lampu yang di setting tertentu, menghasilkan pencahayaan yang memanjakan mata. Kebetulan? tidak, ini sudah menjadi pakem. Lantas keindahannya dimana? seperti saya katakan diatas pantai terindah didunia adalah jebakan hewan air yang tidak bisa beradaptasi dengan ekosistem estuarine, pasir putih contohnya, adalah bangkai hewan bernama karang.

Lantas apahubungannya dengan mall? ya,,ya,,saat berbicara kultur agraris beranjak pelan menjadi kapitalis, kecepatan perubahan itu tidak diikuti dengan mindset. Ada masa dimana sejumlah manusia terjebak transisi ini, dan ini menghasikan keindahan. Sahabat saya seorang dosen di Malang pernah mengeluh karena ada sebuah mall di dekat kampus, dia bilang, saat di kampus kita tanamkan kultur akademis, begitu keluar disambut dengan kultur hedonis, saya tertawa dengan joke ini. Sahabat saya ini mungkin tidak tahu kalau di Surabaya ada kampus berdiri menyatu dengan mall. Saya melihat manusia yang "mengaji" di mall kadang menjadi wagu/kikuk. Bayangkan bagaimana mungkin di mall yang terang benderang kadang ada pengunjung pakai kaca mata hitam hanya karena ingin dilihat trendy Atau seorang perempuan matang ke mall dengan celana pendek dan tank top, ditengah ac yang dingin. Sah saja, bukankah mengaji di mall tak ada dresscode. pengajian al-malliyah memang menyenangkan.

Saya kebetulan paling suka memperhatikan kultur transisi ini pada masing-masing orang saat di mall. Ada keindahan disana saat tabrakan dan transisi kultur ini. Persis seperti melihat sunset atau sun rise. Bisa dibayangkan bagaimana pasangan muda masih sempat-sempatnya membawa bayi berumur 4-5 bulan dengan kereta baby berjalan di selasar mall yang ac-nya pengap (saya tidak bisa bayangkan andai 100 orang kentut diam-diam, udara apa yang dihirup bayi tsb). Atau seorang bapak-bapak dengan topi pakai kaca mata hitam celana pendek dengan alas kaki yang biasa dipakai di taman, tertatih bergandengan dengan seorang yang pantas menjadi entah,,anaknya, atau cucunya. Atau seorang yang pantas telah menjadi nenek, dengan kaca mata lebar berwarna coklat, sedikit tebal eye shadow dan maskara, menenteng tas belanja dari beberapa butik terkenal, sementara dibelakangnya seorang baby sitter (saya tahu dari seragamnya, di mall haram menyebut pembantu,,hehe) pucat membawa kereta dorong yang sarat belanjaan. Atau seorang yang terlihat sibuk dengan ponsel dekat telinga berjalan tergesa-gesa namun tak terlihat bicara. Ada juga seorang bapak menggandeng tangan wanita muda saat sepi namun dilepas saat ramai seolah mereka tak kenal satu sama lain. Indah bukan,,,:-)

Lir ilir adalah tembang yang konon diciptakan Sunan Kali Jaga, salah satu wali besar ditanah jawa, inti dari tembang tersebut menurut saya adalah ajakan untuk mengaji, dan mendekatkan diri pada Tuhan mumpung masih ada kesempatan, mumpung masih padhang(terang) rembulane( bulannya), mumpung jembar kalangane (mumpung kesempatan masih terbuka lebar). Ahhh,,,kalau kanjeng Sunan masih sugeng, beliau pasti akan terkejut dan saya yakin tersenyum, karena manusia sekarang ngajinya bukan saat padhang rembulan tapi padhang lampunya mall, bukan mumpung jembar kalangane , namun tempat ngaji di mall makin jembar (lebar) dari hari ke hari. Saat tembang ini di tulis, saya yakin dijaman itu mall belum ada, namun kanjeng sunan seperti bisa mem-prediksi tembang ini masih relevan buat jaman sekarang. Beliau tersenyum karena keindahan eko-transisi akan kenghasilkan manusia yang tahan banting dalam peradaban , hanya mereka yang akan menikmati keindahannya, sedangkan yang lain, mungkin menjadi pelengkap keindahan itu sendiri, seperti pasir putih yang sebenarnya hanya bangkai karang yang mati karena tak tahan pada proses transisi ini. Ngaji di Mall,,,? kanjeng sunan pasti akan tersenyum sambil mengangguk,,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar