Senin, 23 Desember 2019

Mengukur waktu

Mengukur waktu
Dalam kehidupan terlalu sering melihat "kematian2" kecil. Ada yang rautnya cantik dan tampan,  sehingga kemana2 itu yang di banggakan. Ada yang membanggakan kepintaran sehingga itu yang di nomor satukan, sampai2 kelimpahan waktu yang disediakan Tuhan dipakai untuk memenuhi hal yang menurut mereka keniscayaan.  Susahnya,  anak2 muda, tampan, cantik, pintar, seolah menjemput kematiannya sendiri dengan tidak bisa mengukur waktu. 

Parameter sukses yang mereka bayangkan di masa depan dengan segala asesorisnya adalah harus menjadi ini-itu, punya ini-itu. Sahabat saya Broedin kadang terkekeh melihat fenomena ini sambil tidak lupa misuh jancuuuuuk. Sengaja "u" nya dipanjangkan untuk penekanan. 

Dia bilang,  ini adalah hasil pendidikan kolonial yang merubah DNA dalam darah anak cucu kita. "Mas bro, inilah hasil nya,  kolonial sengaja merekonstruksi bangsa ini dengan mindset kultur hedonis materialistis yang dibungkus modernitas kekinian". Byuhhhh, kata2 nya itu loh dapat darimana,  maksudnya piye to Dien,  ente  ko iso ngomong opo tadi yang ada nis2 nya.  " hedonis mas bro". Sejenis lopis yo Dien kui?. "Lopis ndasmu mas bro,,, iki sudah darurat,  jek guyon ae". Lahhhh ngegas,,, saya ketawa ngakak .

" gini mas bro,  anak muda sekarang menjemput masa depan dengan membayangkan jadi ini itu,  pengen cepet sukses dari sisi materi,  duit, fulus dsb dengan penekanan : bahwa urip ya harus begini; opo gak nelangsa,  wong itu sudah settingan penjajah ratusan tahun yang lalu,  dan mereka tahu dengan kekayaan alam negeri bernama indonesia yang melimpah gak ingin anak cucunya kelak kuat,  hingga racuni dengan gaya hidup hedonis,  beri mereka gula sampai mereka letoy kena diabetes,  saat itu terjadi,  mereka mulai bergerak dan menguasai , inilah hasil yang kita dapat dari sekolah feodal,  opo ga njanjuki mas bro" berapi2 broedin seperti lagi kampanye sambil mulutnya berbusa. 

Terus opo yang harus kita lakukan dien? "Nahhh ini pertanyaan bagus,  makanya mas bro,  ente jangan keenakan  mudun gunung,  lihat anak2 muda yang gelagapan dibanjiri arus modernitas, lihat anak muda yang merasa madesu alias masa depan suram karena tidak bisa ikut arus gaya hedonis".

Loh kok aku,, hubungane opo sama saya.
" lah ente kan sebagai abdullah,  punya kewajiban,  terangkan sama nak kanak children,  kalau hidup tidak diukur dari waktu esok,  tapi fokus pada waktu kini, sehingga hidupnya diisi dengan yang lebih bermanfaat buat nutrisi batinnya,  mosok ga tau mas bro,  di bukune Eckhart Tolle,  the power of now sudah di sebutkan". Saya jingkat kurang ajar arek iki,  buku psikologi seberat itu dia lalap koyo moco komik,  minder saya dihadapannya. Terus aku kudu ngopo dien,  lah ente sudah tau kenapa bukan ente?. 

"Arek muda sekarang ini mas bro, lebih menyukai hal yang instan,  pengen sugih instan, nek iso entuk bojo ayu/ganteng instan,  mereka tidak menyukai proses.  Terus kita harus lapo?  Mbuh mas bro aku yo ngelu ndelok arek sakiki"
Saya tertegun lihat sahabat saya masygul,  anak2 muda seperti menyambut kematiannya sendiri,  mengukur waktu dengan hal yang tak berkualitas, hanya berkutat dari keinginan yang tiada habisnya,  lantas ini salah siapa?.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar