Selasa, 14 Januari 2014

suatu siang disana

Kemarin, saya sempatkan mengunjungi kampus tempat saya pernah kuliah dulu, cukup membuat terkejut karena disana sudah berdiri hutan beton menjulang, beda dengan pepohonan yang memayungi jalan jaman saya kuliah dulu. Megah? saya katakan iya dan mentereng, di beberapa tempat ada hotspot dan pedistrian yang memanjakan pejalan kaki. Lanskapnya telah dibuat modern sehingga bayangan saya kampus ini siap menghadapi masa depan.

Namun jujur saya agak sedikit kuatir, seperti kultur negara berkembang, dimana semuanya berpusat pada patron, dan lakon hari ini patronnya berjudul pencitraan, tanpa disadari juga telah hinggap disini di tempat saya pernah mengaku jadi mahasiswanya.  Bagaimana tidak kuatir karena kalau itu benar, pembangunan begitu megah gedung yang menjulang hanya sekedar lipstik alias citra tanpa diikuti dengan kualitas keilmuaannya, saya menjadi takut akan terjebak dalam pendidikan kapitalisme yang berujung pada motif ekonomi. Dalam bahasa sederhana kampus menjadi pusat aktifitas ekonomi pragmatis dengan barang dagangannya berupa "ilmu".

Telah lama saya tidak menyetujui konsep "sekolah" jaman sekarang, karena yang dikedepankan hanyalah pencapaian IQ bukan nilai secara utuh sebagai manusia. Akibatnya sekolah dipandang sebagai jalan keluar untuk mencapai masa depan (kesejahteraan) namun dengan cara yang teramat salah yaitu menumpuk kekayaan bukan mendistribusikan. Ada beda makna prosperity (kemakmuran/kesejahteraan) dan affluence (kekayaan) dan saya takut hari ini sekolah dan masyarakat salah menerjemahkan. Sekolah yang dulu dianggap sebagai tempat untuk membuat pintar otak dan budipekerti, hari ini hanya dianggap sebagai batu loncatan untuk menumpuk kekayaan.

Bukankah ini wajah kita sekarang, produk dari pendidikan yang bias, orang sekolah agar kelak bisa terjamin masa depannya (kaya). Sekolah pasang tarif mahal karena melihat peluang ini dengan beribu alasan kalau untuk mendapat "ilmu" tidaklah murah dan bertarif (saya sempat browsing di internet mengenai penelitian kampus tentang masalah perikanan hasilnya hmmm,, tidak signifikan) mungkin saya salah, kalau benar,,,,alamaaakkk saya sedihnya. Kenapa? kemarin sempat interview "adik kelas" untuk keperluan perusahaan, dan saya terkejut sekaligus mafhum kalau apresiasi mereka dengan keilmuannya sebenarnya mencerminkan apa yang mereka dapat selama kuliah dulu.

Saya jadi ingat puisi Dorothy Law Nolte: Childrean Learn They Live, salah satu potongan puisinya sbb :" if children live with friendliness, they learn the world is nice place in which to live" diterjemahkan bebas: jika anak dibesarkan dalam persahabatan mereka akan belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Bukankah sekolah memiliki salah satu fungsi yang disebut Dorothy dalam puisinya, dan hari ini,,,,saya hanya bisa trenyuh dan mengelus dada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar