Sabtu, 21 April 2012

Syair penjual balon


Sore hampir saja tergelincir saat dibawah pohon rindang duduk seorang penjual balon beserta dagangannya, balon warna warni yang diikat benang pada cantolan bambu, saya lihat diletakkan pada ranting pohon tempat bapak itu beristirahat. Ada keteduhan dari pancaran muka saat melihat peluh yang menutup seluruh wajah yang sudah tak bisa dikatakan muda lagi.Seperti yang sudah-sudah pikiran iseng saya mulai muncul, bertanya basa-basi, saya kaget karena diusia yang hampir mendekati kepala lima, setiap hari bapak ini berjalan sejauh hampir 30 km pulang pergi dari rumahnya mnenyusuri jalanan hanya untuk berharap rejeki dariNya hanya dengan menjual balon. Saya trenyuh ketika beliau bilang, dalam sehari rata-rata bisa menjual 5-8 balon seharga Rp,4000 dilakukan menyusuri jalan berdebu dengan jalan kaki, jadi seharian setelah bejalan sejauh itu pendapatannya 30 ribuan. Dengan uang segitu selama hampir 20 tahun bapak ini bisa menghidupi keluarga dengan 3 anaknya. Tidak ada jalan pilihan kerjaan lain yang bisa dilakukan dengan skill dan kesempatan terbatas, membuat sang bapak konsisten dengan yang dilakukannya sekarang.

Yang membuat saya kagum ditengah himpitan kekurangan, sang bapak tulus menjalani profesi ini, saya teramat paham kalau bapak ini ikhlas terlihat dari gurat wajahnya yang tak menunjukkan tanda-tanda keletihan hidup."Tiyang punika menawi ngertos sejatinipun gesang wonten donya namung sakdermo mampir mboten wonten naminipun kuwatos, amergo Gusti sampun janji maringi rejeki dumateng umatipun ingkang purun medamel"sang bapak memulai percakapan, yang artinya kurang lebih :manusia kalau tahu hidup ini hanya sebantar dan tak perlu kuatir karena Tuhan berjanji akan memberi rizki kepada orang yang mau bekerja."Kathah-sekedik, ageng-alit menika wonten manah, kito namung sakdermo nglakoni lan usaha, menawi namine kirang mboten enten batese nggih kirang mawon, nanging Gusti mboten sare mas,,,(banyak-sedikit, besar-kecil itu tempatnya dihati, kita hanya menjalani dengan usaha, kalau namanya kekurangan tidak ada batasnya, namun Tuhan tidak tidur)".Terus bagaimana bapak bisa hidup dengan hasil sehari, apa cukup?"nggih cekap mas". Saya tidak bisa bayangkan definisi cukup buat bapak ini, karena pernah seharian tak satupun barang dagangannya laku, dia menerimanya dengan lapang dada Tapi ada satu hal yang membuat saya tertarik, dalam makrokosmos kehidupan, dia menempati tempat yang cukup indah dimata kehidupan, bandingkan dengan saya yang masih saja sering mengeluh. Yang membuat saya tertohok, entah menyindir atau apa, bapak ini bilang :" Kula sering ningali, kathah tiyang sampun diparingi cekap nanging kirang sukure amerga taksih kathah nyuwunipun,,(saya sering lihat orang yang berkecukupan tapi kurang bersyukur karena masih banyak permintaan".

Tidak bisa dibayangkan kesanggupan saya untuk menjadi bapak penjual balon, kalau bertukar kehidupan. Ketakzimannya menjalani kehidupan, keikhlasan dan harapan menyongsong rejeki dari Tuhan, rasa syukur yang teramat mendalam, membuat hidupnya begitu mengagumkan. Uang sehari yang dia dapat, kadang hanya menjadi recehan buat saya, tapi begitu berharga dimatanya.Mata saya berkaca-kaca, himpitan kekurangan dijalani dengan gembira oleh bapak penjual balon yang hidupnya tak sewarna-warni balonnya, saya tahu dimana "maqom" bapak ini dimata Tuhan. Sebelum pergi sambil tersenyum berkata : "sae mbotenipun gesang sanes ditingali saking kathah sekedik ingkang Gusti paringi, nanging napa sedoyo ingkang dipun paringi saged miguna kagem ummat (kualitas kehidupan tidak ditentukan oleh banyaknya yang diberikan Tuhan, namun apa semua itu bisa bermanfaat untuk orang lain)". Saya hanya tercekat dengan kata-kata yang sering diucapkan imam khotbah jumat, namun bapak ini mengucapkan dengan tindakan.Jujur saya merasa minder dan rendah dihadapan beliau, dan makin rendah saat beliau saya beri uang hanya untuk rasa kasihan dengan senyum dan halus menolaknya seraya berkata :"Mas,,,jangan kasihani saya, bukannya saya tidak mau dan butuh, tapi ada yang lebih membutuhkan, yaitu mas sendiri". Muka saya merah, tidak berani menatap wajahnya.hanya dengan ekor mata saya lirik wajahnya dan saya kaget bukan kepalang, wajahnya sekarang seperti berubah mirip Gur Pan, Saat saya kejar, bapak itu telah menghilang dikelokan jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar