Rabu, 06 Agustus 2014

Mudik


Dalam bahasa suroboyoan, mudik bermakna terbang, namun makna itu lebih akrab ditelinga kita tentang sebuah aktifitas pulang kampung pada hari raya lebaran. Mungkin mudik berasal dari kata udiki alias kampung. Pulang ke kampung halaman pada hari lebaran seperti sebuah keniscayaan, keharusan dengan konsekwensi biaya berapapun. Pertanyaannya kenapa? kenapa mereka begitu antusias buat mudik meski keluar biaya yanjg tak sedikit, kelelahan yang teramat sangat. Yang jelas ada semacam sengatan spritual yang dicari setelah setahun bekerja di kota besar. Tidak perduli kaya miskin esensi mudik begitu dicari, terlepas dari kebutuhan pengakuan yang tidak didapatkan di kota. Pengalaman spiritual yang didapatkan inilah yang bikin adiksi, kebutuhan akan pengakuan, kebutuhan untuk diterima sebagai manusia tanpa embel-embel tertentu, perasaan persaudaraandan  silaturahmi yang membuat semua menjadi damai. Apapun namanya, ini seperti rasa dilahirkan kembali menjadi manusia, perjalanan kembali menjadi manusia sejati, pengalaman kembali untuk meniada, meniada dari ego menuju jati diri.

Mudik sebenarnya perlambang perjalanan manusia menemui Tuhannya, yang dicari setelah keseharian bekerja keras, setahun menunggu, ia hanya ingin berjumpa dengan kasih sayang kedamaian dan pengakuan tanpa embel apapun. Mudik hanya ingin diri ini menjadi manusia bukan hewan ekonomi, budak kekuasaan. Bukankah menjadi manusia normal hal yang diinginkan setelah dibombardir dengan kemilau harta tanpa batas namun malah mereduksi rasa kemanusiaan yang makin terlupa. Tidak diularang memiliki apapun tanpa batas, tapi kalau hanya menjauhkan dan malah mengasingkan nurani, kalbu dengan kebenaran, tidak saja semua sia-sia, namun malah makin tersesat dalam labirin bernama kerakusan. Susahnya menemukan jalan keluar membuat mudik menjadi jendela untuk membuat badan yang telah lusuh oleh peluh oleh ukuran bernama banyak-sedikit sampai martabat yang hilang. Apapun ternya manusia masih merindukan kembali ke asal muasal, akar rumput tempat dia diterima apa adanya, kerinduan yang harus dibayar mahal dengan cara mudik. Bukankah dengan mudik kita menjumpai manusia begitu memaapkan, bertoleransi sedemikian besarnya, bukan kemarahan tapi senyuman.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar