Jumat, 23 Desember 2016

Mengukur waktu(re-intro)


Saya ini paling sentimental dengan hal yang berbau perpisahan,  seolah hidup sekejap berhenti saat sahabat,  orang terkasih,  tiba2 meninggalkan kita,  bisa nangis bombay. Bukan karena tidak bisa ketemu lagi,  namun kenangan yang tersisa membuat semuanya begitu Indah,  yup keindahan itu yang bisa menitikkan air mata.  Namun anehnya saat melihat kematian berpisahnya ruh dan raga, tidak lantas saya menangis.  Buat saya kematian adalah jalan kembali pulang,  welcome home,  kegembiraan seharusnya.

Nahhh,, dalam kehidupan inilah saya terlalu sering melihat "kematian" kecil. Ada yang rautnya cantik dan tampan,  sehingga kemana2 itu yang d banggakan,  bagi saya kematian. Demikian halnya kepintaran yang di nomor satukan, kelimpahan waktu yang disediakan Tuhan pun bisa jadi pertanda kematian itu sendiri.  Susahnya,  anak2 muda, tampan, cantik, pintar, mereka menjemput kematiannya sendiri dengan tidak bisa mengukur waktu saat ini. Yang mereka bayangkan adalah masa depan dengan segala asesorisnya menjadi ini itu, punya ini itu yang dianggap parameter sukses. Sahabat saya Broedin kadang terkekeh melihat fenomena ini sambil tidak lupa misuh jancuuuuuk. Sengaja "u" nya dipanjangkan untuk penekanan.

Dia bilang,  ini adalah hasil pendidikan kolonial yang telah jadi DNA di dalam darah anak cucu kita. "Mas bro, inilah hasil nya,  kolonial sengaja dari dulu merekonstruksi bangsa ini dengan mindset kultur hedonis materialistis yang dibungkus modernitas kekinian",katanya.  Byuhhhh, kata2 nya dapat darimana,  maksudnya piye to Dien,  ente arudam ko iso ngomong opo tadi yang ada nis2 nya.  " hedonis mas bro". Sejenis lopis yo Dien kui?. "Lopis ndasmu mas bro,,, iki sudah darurat,  peyan jek guyon ae". Lahhhh,,,, saya nyerggah. " gini mas bro,  anak muda sekarang menjemput masa depan dengan harapan jadi ini itu,  pengen cepet sukses dari sisi materi,  duit, fulus dsb dengan penekanan,  bahwa urip ya harus begini,  opo gak nelangsa,  wong itu sudah settingan penjajah ratusan tahun yang lalu,  dan mereka tahu dengan kekayaan alam negeri bernama indonesia yang melimpah gak ingin anak cucunya kelak kuat,  hingga racuni dengan gaya hidup hedonis,  beri mereka gula sampai mereka letoy kena diabetes,  saat itu terjadi,  mereka mulai bergerak pasti dan kuasai , inilah hasil yang kita dapat dari sekolah feodal,  opo ga njanjuki mas bro" berapi2 broedin seperti lagi kampanye sambil mulutnya berbusa.

Terus opo yang harus kita lakukan dien? "Nahhh ini pertanyaan Bagus,  makanya mas bro,  ente jangan keenakan bertapa di jalan sunyi,  mudun gunung,  lihat anak2 muda yang gelagapan dibanjiri arus modernitas, lihat anak muda yang merasa madesu alias masa depan suram karena tidak bisa ikut arus gaya hedonis". Loh ko aku,, hubungane opo sama saya. " lah ente kan sebagai abdullah,  punya kewajiban,  terangkan sama nak kanak children,  kalau hidup tidak diukur dari waktu esok,  tapi kini,  mosok ga tau mas bro,  di bukune Eckhart Tolle,  the power of now sudah di sebutkan". Saya jingkat kurang ajar arek iki,  buku psikologi seberat itu dia lalap koyo moco komik,  minder saya dihadapannya. Terus aku kudu ngopo dien,  lah ente sudah tau kenapa bukan ente?.

"Arek muda sekarang ini mas bro, lebih menyukai hal yang instan,  pengen sugih instan, iso entuk bojo Ayu instan,  nek iso budal nang mekkah bolak balik,  mbok pikir donya iki duweke mbahe opo,  mereka tidak menyukai proses,  hal yang diselipkan oleh produk penjajahan,  terus kita harus lapo?  Mbuh mas bro aku yo ngelu ndelok arek sakiki"
Saya tertegun lihat sahabat saya masygul,  anak2 muda yang menyambut kematiannya sendiri,  mengukur waktu dengan hal yang tak berkualitas, hanya berkutat dari keinginan yang tiada habisnya,  lantas ini salah siapa?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar