Entah kenapa itu malah kebalikan dengan yang saya alami, saya malah sering menangis karena hal sepele seperti lihat daun jatuh di musim gugur, lihat sunset dengan ufuk berwarna jingga. Bagi saya itu justru terasa eksotika dan begitu cantik. Saya juga menangis saat menghadapi perpisahan dengan orang-orang terdekat, seperti saat Adinda, putri saya berpamitan bepergian untuk di asuh olehNya. Bukan kehilangan yang saya tangisi, tapi momen perpisahan yang begitu dramatis gampang membuat kelopak mata basah.
Namun anehnya saya tidak bisa menangis saat melihat kematian,terlalu sering melihat badan meregang nyawa di jalan raya, di rumah sakit, di tempat lain, saat tubuh memisahkan diri dengan ruh. Saya juga tidak menangis saat batin tercabik oleh luka hati, goresan hidup yang membuat limbung. Ketidak adilan yang saya lihat di jalanan dan kehidupan sehingga banyak orang mati secara artifisial, tidak membuat saya menangis.
Jadi,,,dalam hal tertentu memang saya cengeng, gampang sekali terluka oleh hal yang eksotika, kalau hal itu memang memalukan buat lelaki seperti saya,,,apa boleh buat, mungkin tabung air mata saya ditakdirkan berlebih oleh Tuhan sehingga saya agak boros untuk mengeluarkan air mata.
Saya jadi teringat dengan budaya orang Amerika latin, mereka menangis saat melihat kelahiran, namun tertawa saat mengiringi kematian, justru mereka memainkan musik dengan gempita (yang saya tahu seperti musik RNB), seperti ingin berkata, kematian yang mengantar kita menghadap Tuhan layak kita rayakan dengan gembira, kelahiran adalah awal derita di dunia, kita harus menangisinya.
Jadi kalau dalam budaya kita lelaki tidak boleh menangis saya jadi masygul,,,karena saya sering menangis mungkin perlu dipertanyakan level ke-lelakian saya,,,hmmm,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar