Setelah sekian waktu berjalan, tiba-tiba tanpa terasa sebentar lagi menyambut puasa. Layaknya tamu besar yang akan datang saya berusaha menyiapkan mental sebaik mungkin karena tamu yang akan membawa hadiah besar saya harus siap dengan berbagai macam kejutan. Biasanya sebelum puasa tiba Adinda selalu menemui saya dalam mimpi dengan senyum yang menandai lesung pipinya. Sudah terlalu cukup buat saya kalau itu sebagai penanda rasa kangen darinya.
Tahun ini memang saya diberi banyak kebahagiaan, salah satunya adalah di kantor menemui kolega yang usia, face dan perilakunya mirip anak saya. Namanya sebut saja nadiva, seorang psikolog muda lulusan S2 yang sedang menyerap semua hiruk pikuk kehidupan dengan semangatnya, mirip sepon kering yang menyerap air, anak cerdas ini begitu membuat mata saya terbelalak bukan saja pintar tapi cara menganalisa sesuatu cukup mengena. Sayang kalau talenta sebagus ini akhirnya sia sia. Saya tidak ingin mengulas tentang dirinya, namun cara dia memandang hidup terasa begitu jelas, tanpa tedeng aling aling, tanpa menyisakan warna abu-abu, misal pendapatnya tentang sosial media yang menurutnya tidak penting. Mestinya untuk anak seusia dia, medsos bukan lagi sekedar life style sudah keseharian, bahasa jawanya sego jangan. Tapi ada pengecualian, dia tak memiliki medsos, kalau toh ada hanya sekedar etalase belaka. Alasannya yang akhirnya saya berniat menutup medsos sepert FB, instagram,dsb karena menurutnya lebih banyak mudharat daripada maslahatnya. Tentu saja saya kaget dengar opini yang keluar darinya. Namun akhirnya setelah direnungi, mungkin ada benarnya.
Dalam perspektif saya, hari ini dengan kemajuan teknologi malah makin terkotak kotak kalau tidak dikatakan makin teralienasi, kita lebih menyenangi hubungan via sosial media ketimbang dunia nyata. Sebagus apapun media informasi memiliki efek yang menakutkan. Susahnya kata si nadiv, tidak semua informasi yang muncul kebenarannya bisa dipastikan, bahkan menurutnya malah banyak informasi sampah. Jujur saya banyak belajar darinya, sehingga mungkin dalam waktu dekat perlahan saya akan mengikuti jejaknya, mulai pensiunkan sosial media yang telah melarut dalam diri. Bahkan akan saya tutup total dengan menyisakan beberapa seperti blog dan wa yang memang masih harus diperlukan untuk urusan kantor.
Beruntung saya diingatkan si nduuk (panggilan saya sama nadiva) anak pintar ini telah mengingatkan saya bahwa hidup lebih baik dijalani dengan pure lebih murni, tidak tenggelam dalam dunia pseudo sempit yang makin menyesakkan. Dan puasa ini kesempatan bagus untuk mulai berjarak dan melakukan detox terhadap file sampah dalam pikiran sehingga mata batin bisa lebih bening. Saya memang beruntung dalam fragment hidup bisa menemui guru yang mengagumkan, saya tidak sungkan belajar darinya termasuk si nduuk ini. Tak ada yang bisa saya katakan kecuali hanya bilang : suwun yoo,,nduuk,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar