Sore ketika maghrib tiba saya sedang dalam perjalanan ketika sebuah pesan pendek masuk dari nomor yang tak dikenal ,isinya secara ringkas dia keberatan dengan tulisan, status yang terpampang di sosmed yang saya miliki, utamanya di twitter, facebook. Alasannya dua hal 1. Sahabat saya( saya menyebut begitu untuk orang yang saya kenal maupun tidak) merasa dirugikan dengan tulisan itu baik secara fisik dan mental karena akan membangun opini yang menyudutkan dia akhirnya, 2. Sahabat saya ini merasa apapun tulisan yang dibuat merupakan pencitraan diri yang sebenarnya tidak bersih-bersih amat alias secara tak langsung menggolongkan diri saya sebagai munafikun.
Apakah saya marah? bukan marah hanya geli, karena apapun tulisan itu tidak menyudutkan orang tertentu, menyindir satire iya, tapi dimaksudkan kepada diri sendiri atau yang merasa kesindir. Setelah sekian tahun menjadi blogger (istilah yang disematkan sahabat lain) baru kali ini ada sahabat yang merasa setiap aksara dan kalimat yang saya tulis meruntuhkan integritasnya. Saya tidak terkejut karena tetap akan saya hargai opini demikian sebagai pemberi warna di kanvas ini.
Sejujurnya, menulis sudah saya lakukan saat masih sekolah dasar, tulisan pendek di buku harian berupa puisi yang kemudian di SMP sedikit berkembang esai pendek, berlanjut di SMA yang kemudian menemukan wadah waktu kuliah. Tidak ada hal yang mengasyikkan kecuali jurnalistik sehingga merasa ini panggilan hidup. Meskipun akhirnya tidak jadi kesana malah kesasar di tempat yang memang saya sukai juga, kegiatan menulis masih tetap saya lakukan hingga kini. Jadi ketika ada sahabat keberatan dengan status dan tulisan saya di sosmed sedih rasanya.
Akhirnya meskipun berat saya ingin agar sahabat saya melupakan kepedihan akibat efek dari tulisan itu maka mulai esok untuk sementara waktu saya vakum dari status di twitter, facebok, WA (akan saya batasi) kecuali lingkup pekerjaan. Anggap saja ini sebuah re- intro untuk sebuah kedalaman, mungkin ini yang terbaik. Saya sisakan satu, blog ini karena mirip rumah kedua. Entahlah dalam perspektif lebih vulgar, jika teman saya menemukan kebahagiaan atas kesakitan yang saya alami, saya bersedia melakukannya. Jika merasa ini adalah sebuah bentuk kepasrahan alias menyerah, saya menyebutnya : waktunya jadi kepompong setelah lama jadi ulat 😀😀
Tidak ada komentar:
Posting Komentar