Ketika perjalananmu melintasi padang2 pengembaraan sendirian, kau hanya ditemani Bintang dan bulan saat malam. Ditemani pagi dan embun kala Mentari merindukanmu. Diri mu menaiki bukit dan lembah kesulitan dan segera menemukan mata air untuk membasuh hausmu, dan merasa hidup hanyalah kumpulan makna yang hanya bisa dimengerti dengan kerendahan hati. Kadang dirimu bertanya diujung mana perjalanan berhenti? Dan selalu saja jawabannya adalah melangkah dalam tapak2 yang menuntunmu menuju cahaya Nya. Dirimu pernah menyebutnya dengan pendar cahaya Nya, dan terkadang kau per ah mengatakannya jalan sunyi.
Sungguh didalam sesak nafas melihat dunia yang makin menua namun makin angkuh dengan sisi kemanusiaannya, kamu melihat ini adalah cara untuk makin mengukuhkan betapa hidup teramat lembek pada air mata, bahkan terlalu cengeng dan picisan. Itu kau bilang saat duduk di sebuah batu yang berlubang karena tetesan air. Sampai di titik ini dirimu menyimpulkan bukan seberapa banyak yang akan dibawa, bukan seberapa jauh dirimu mengembara, bukan seberapa tinggi dirimu menengadah. Namun apakah di setiap langkahmu kau menemukan konsistensi kepada Nya, menemukan jejak makna betapa seluruh sudut ruang dan waktu hanyalah bulir bulir embun yang akan menguap karena kasih sayang Nya.
Saat dirimu menemukan itu, kau merasa eksistensimu hanyalah bagian dari ketiadaan dan nisbi, semuanya hanyalah milik Nya. Patutkah dirimu menjadi sombong meskipun secuil saja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar