Dalam konteks hubungan hablumminnallah dan hablumminannas, ada sebuah koridor yang sering kita lakukan namun tak sepenuhnya paham kenapa itu kita lakukan. Koridor itu saya menamakannya puasa, puasa adalah oase kecil tempat hotspot yang memiliki sinyal kuat untuk terhubung secara intens kepada sang khaliq. Dan puasa juga memperbaiki hubungan kemanusiaan karena mempurifikasi sikap kesombongandan keserakahan. Tagline puasa semua kita hafal yaitu menahan diri terhadap hawa nafsu, makan minum, mulai matahari terbit hingga terbenam, sebuah cara untuk memfermentasi kenakalan kenakalan kita pada materi dan duniawi.
Secara harfiah dalam konteks waktu tertentu kita dibuat berjarak dengan materi namun mendekat dengan sifat ruhani. Ibarat pakaian yang telah setahun terkotori hal duniawi, sebulan penuh akan di cuci bersih dengan sifat keruhanian sehingga kembali pada fitrah diri sejati kita. Tujuan akhir puasa memang mengembalikan kita pada tujuan awal kehidupan yaitu : ente ngapain dikirim ke dunia ini.
Namun sebagaimana skenario film yang memiliki scene tak terduga, puasa yang tujuannya membasuh ruhani entah siapa yang memulai malah menjadi pesta pora duniawi, menjadi komoditas yang men-sah kan jika puasa dalah pelepasan dan pemenuhan dahaga ego. Kebetulan seharian saya sempatkan "berpatroli" di pusat pusat pelampiasan tersebut, pasar, mall, lebih ramai dari biasanya. Berjarak dengan hal duniawi menjadi kesempatan melekatkan selamat lekatnya dengan duniawi. Akhirnya tujuan puasa mengembalikan diri yang Fitri malah kontraproduktif, makin membenamkan kita kepada pencapaian absurd. Benar jika kebanyakan orang berpuasa hanya memperoleh lapar dahaga belaka, bukan hikmah puasa itu sendir.
Jadi jika dari tahun ke tahun kita puasa namun mendekati 1 syawal kita disibukkan dengan pernak pernik lebaran dsb pertanyaannya sudah berpuasa kah kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar