Menangkap sunyi
Dulu saat tenaga dan pikiran masih kuat untuk begadang sampai pagi bahkan dilanjutkan sampai malam lagi, badan hanya terkekeh dan biar pikiran tetap fokus, doping kafein hal yang bisa dilakukan. Kenapa harus bela-belain begitu? Idealisme anak muda yang lagi gandrung dengan hal yang berbau jurnalistik membuat saya begitu nikmati "kemalangan" itu,,,,😀😀😀. Jujur, masa depan adalah hal yang tak terpikirkan. Berkutat dengan sejumlah nara sumber, dikejar date line jadi keasyikkan sendiri dibanding tuntutan SKS yang mengejar saya. Saya menyebutnya idealisme tanpa pijakan realitas. Ibaratnya api masih merah.
Setelah lulus, saya pernah berfikir untuk jadi jurnalis yang sebenarnya, namun apa mau dikata, idealisme saja tak cukup, koran yang kala itu masih jadi sumber utama informasi, masih merasa superior terhadap idealisme kampus dan faktanya saya malah jadi imferior,,,,😀😀😀. Teknologi informasi yang belum bagus saat itu untuk negara berkembang membuat pilihan berbenturan dengan realita, ternyata modal sarjana hanya sebuah simbol di depan nama, tak lebih dari itu, selebihnya(,,,,,maaf,,,,,saya baru menyadarinya belakangan,,,,) tak laku.
Perjalanan waktulah akhirnya menambatkan saya ke dunia baru dan agak asing, perikanan secara kapital bukan perikanan dalam teori buku yang usang. Saya katakan usang karena ada gap terlalu jauh antara teori dan pragmatisme. Bergerak mirip ombak, naik turun dan pasang surut di dunia ini terasa menggetarkan. Sebagaimana kita tahu, kapitalism membawa adagium baru mirip filsuf perancis descartes : corgito ergo sum (aku berfikir maka aku ada). Dan saya pun terkagum kagum, pergerakan revolusi ekonomi yang menekankan rasionalis individual memang ngedab2i. Hasilnya industri perikanan melesat jauh ke atas dengan dukungan sumber daya alam. Dan saya yang saat itu masih ada di pinggiran merasakan pusaran ekonomi ini tumbuh begitu mengesankan.
Namun entah kenapa, ada "bug" dalam otak saya sehingga virus idealisme ala kampus kadang muncul tenggelam dengan membawa pertanyaan : saat eksploitasi alam tanpa henti, dimana batas moral berada. Apa yang tersisa jika kelak tiba pada batasnya. Apakah teknologi nanti bisa memecahkannya, atau ganti haluan karena dari hitungan ekonomi sudah tidak layak. Berapa banyak gerbong2 yang selama ini menikmati asupan dari sana perlahan mulai memintal benang bernama absurd. Entah dari mana asalnya, otak saya bernyanyi : lir ilir tandure woh sumilir, tak ijo royo2 tak sengguh penganten anyar,,,,,,
Ahhh,,,jangan2 otak saya kepanasan hingga hang
Tiba-tiba pikiran ini menyadar tubuh sudah tidak ijo royo2, bukan penganten anyar, namun sudah jadi bocah angon. Lamat-lamat ada rangkaian yang bukan kebetulan dari kehidupan ini, mulai muda hingga usia seksi, ternyata ada penugasan yang harus saya jalani yaitu : "menangkap sunyi" atau kata mbah google Capture the silence. Yo wes jalani ae sambil ndungo mugi2 diparingi lancar,,,,,ngoten nggih mbah google,,,😀😀😀 ( sejak kapan sampeyan dipanggil mbah wong laire ae tahun 98, sek umur 19 tahun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar