Fenomena baju baru
Semula saya mengira kalau lebaran pake baju baru saat silaturahmi, saat reuni dengan temen sekolah, pasti mereka akan memperhatikan baju yang kita pake, model yang sedang trend. Ternyata anggapan saya salah, kemarin saat lebaran, sanak saudara terutama orang yang kita anggap tua, tidak memperhatikan apakah baju yang dipakai baru atau tidak ( mungkin ga tahu ini baru apa tidak), malah melihat "hati baru" kita, yang menghantar diri ini kesana untuk mengucap maaf. Demikian juga saat reuni, tak satupun yang memperhatikan apakah kita pake baju baru atau tidak, karena yang dilihat adalah wajah sambil mengernyit mengingat nama.
Lantas, kalau memang itu, kemana baju baru yang dibeli dengan berdesakkan di mall, dengan suara keras meng atas namakan tehaer, kalau ketika hari "H" tak sedikitpun meliriknya. Malah yang paling genuine adalah anak-anak, mereka melihat kita dari angpau nya bukan bajunya. Fenomena baju baru agaknya jangan-jangan adalah trik marketing buat menaikkan penjualan :-D dengan menumpang momen lebaran, seperti halnya iklan sirup begitu gencar saat akan menghadapi hari raya, dan setelahnya meng-hibernasi :-) .
Tapi fenomena baju baru malah bikin asik, banyak cerita disana, banyak kenangan yang akan ditularkan ke anak, anak ke cucu dan seterusnya. Baju baru lebaran memang bukan subyek cerita, ia hanya trigger, pengungkit narasi yang begitu banyak kata yang tak teryampung bila diceritakan. Ironisnya, swmua itu dilakukan hanya berujung pada kata "maaf" yang tiap hari mungkin jarang dilakukan namun efeknya begitu membekas dalam diri. Saya hanya ingin bilang : mungkin ini indahnya lebaran, baju baru mirip lampu setting di panggung, ia hanya menghantar dari drama yang ceritanya akan berlanjut sepanjang jaman.
Semula saya mengira kalau lebaran pake baju baru saat silaturahmi, saat reuni dengan temen sekolah, pasti mereka akan memperhatikan baju yang kita pake, model yang sedang trend. Ternyata anggapan saya salah, kemarin saat lebaran, sanak saudara terutama orang yang kita anggap tua, tidak memperhatikan apakah baju yang dipakai baru atau tidak ( mungkin ga tahu ini baru apa tidak), malah melihat "hati baru" kita, yang menghantar diri ini kesana untuk mengucap maaf. Demikian juga saat reuni, tak satupun yang memperhatikan apakah kita pake baju baru atau tidak, karena yang dilihat adalah wajah sambil mengernyit mengingat nama.
Lantas, kalau memang itu, kemana baju baru yang dibeli dengan berdesakkan di mall, dengan suara keras meng atas namakan tehaer, kalau ketika hari "H" tak sedikitpun meliriknya. Malah yang paling genuine adalah anak-anak, mereka melihat kita dari angpau nya bukan bajunya. Fenomena baju baru agaknya jangan-jangan adalah trik marketing buat menaikkan penjualan :-D dengan menumpang momen lebaran, seperti halnya iklan sirup begitu gencar saat akan menghadapi hari raya, dan setelahnya meng-hibernasi :-) .
Tapi fenomena baju baru malah bikin asik, banyak cerita disana, banyak kenangan yang akan ditularkan ke anak, anak ke cucu dan seterusnya. Baju baru lebaran memang bukan subyek cerita, ia hanya trigger, pengungkit narasi yang begitu banyak kata yang tak teryampung bila diceritakan. Ironisnya, swmua itu dilakukan hanya berujung pada kata "maaf" yang tiap hari mungkin jarang dilakukan namun efeknya begitu membekas dalam diri. Saya hanya ingin bilang : mungkin ini indahnya lebaran, baju baru mirip lampu setting di panggung, ia hanya menghantar dari drama yang ceritanya akan berlanjut sepanjang jaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar