Sore itu cuaca mendung pertanda hujan segera turun, saya menyusuri jalanan seperti ditakdirkan untuk menemui nya. Hidup memang punya cara yang unik untuk menemukan ritme keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksud adalah, ketika hidup begitu keras, ada sudut kelembutan disana, dan anehnya kelembutan itu menjadi hal kontradiksi dengan kerasnya. Sebut saja namanya Pinkan, gadis remaja yang seharusnya tengah bergembira bersama teman dan komunitas, dan memang itu yang dilakukan hari ini. Bedanya kalau yang lain bercanda dengan teman sekolahnya, ia bercanda dengan,,,bayinya. Diusia 17 tahun dia telah menjadi ibu bagi bayi lucu berumur 10 bulan karena suatu kecerobohan sehingga hamil diluar nikah. Beruntung pacarnya mau menikahinya, sehingga jadilah mereka pasangan yang berbahagia.
Bahagia? nanti dulu, ini perjalanan yang membuat hatinya hancur tanpa semua orang tahu, hatinya teriris dan menangis bukan karena perbuatan yang telah disesalinya. Namun stigma yang menempel sampai hari ini susah dihilangkan. Stigma sebagai gadis pencemar keluarga sehingga apapun keruwetan hidup dari keluarganya seperti memperoleh jalan keluar,,,Pinkan penyebabnya. Berbagai hukuman telah dijalaninya dengan ikhlas, sekolah yang putus, diasingkan hanya untuk menghindari omongan tetangga, jatah hidup yang serba kekurangan sehingga untuk makan pun harus berhemat. Keluarga besarnya mestinya cukup mampu kalau hanya untuk itu. Dan sore itu tangisnya ambrol seperti tak bisa ditahan saat masalah kecil yang tak dilakukannya, dia di cap pembawa sial. Buat anak remaja seperti Pinkan, dia tak kunjung mengerti kenapa semua kesalahan selalu ditimpakan padanya. Dan hanya bisa berucap "bundaaa,,," dengan terisak seperti menemukan oase seraya kepalanya menempel dibahu seolah hanya saya satu-satunya yang mengerti galau hatinya. Sudahhh Pinkan ga boleh nangis terus, ada bunda disini, kalau sedih kasihan baby-nya, nanti asi bisa berhenti. Hanya itu yang bisa terucap untuk menghiburnya. Ada perasaan trenyuh karena selama ini mencari sosok ibu namun tak didapatkannya.
Selalu waktu menjadi hal yang mudah untuk disematkan atas kesalahan masa lalu. Kita teramat royal untuk membuat kerangka salah-benar pada seseorang berdasar masa lalu. Hidup memiliki kearifan, ia ingin kita hanya maju ke depan, bukan ke belakang, namun kelemahan diri ini dimasa lalu menjadi alasan sebagai kambing hitam atas ketidak berdayaan masa kini. Bukankah tak adil saat remaja seperti Pinkan menerima beban yang tak mungkin dilewatinya. Menjadi ibu dari putranya saja sudah teramat lelah masih dihukum dengan sebutan yang menyakitkan. Saya hanya bisa memeluknya sebelum kembali, masih terngiang : aku ikut bunda saja,,,hmmm,,,nanti sayang jangan sekarang, bayimu terlalu lemah untuk mengarungi perjalanan ini, kelak bunda pasti akan menjemput mu, percaya bunda sayang. Dia pun mengangguk, ada kilatan kecil di bola matanya, seperti menemukan harapan kalau kelak dia akan diterima utuh apa adanya.