Persoalan pilihan hidup memang teramat subyektif, bayangkan seandainya pilihan hidup semua manusia sama, rasanya tawar hidup ini. Keberagaman memang seperti gradasi warna, ada keindahan disana. Problemnya, saat pilihan hidup yang disangka akan memberi bahagia ternyata malah sebaliknya, salahnya dimana?. Diakui atau tidak, pikiran ini telah lama meninggalkan kejernihannya. Tanpa terasa otak kita dicuci bertahun-tahun oleh berbagai hal yang memanjakan ego sampai apa yang dilihat menjadi keniscayaan. Susahnya memanjakan ego selalu tidak signifikan dengan memanjakan sejati diri yang ada di dalam ini. Bayangkan yang dinamakan definisi cantik, ganteng adalah seseorang dengan bentuk tubuh tertentu, sehat? entah, namun ini yang selalu tertanam dibenak bertahun-tahun sehingga dipercaya tanpa sadar harus menjadi patron, dan ini menggelikan.
Jadi ini perkara apa? hal yang paling dasar saja indera kita telah menjadi kabur bagaimana bisa melihat kejernihan hidup? Saya suka dengan joke Mario Teguh: "hanya ABG yang memilih pria TAMPAN, wanita dewasa dan smart memilih pria MAPAN". Anak Baru Gede dalam tahap kehidupannya memang selalu melihat hal yang bersifat fisik semata, tidak bisa disalahkan karena memang harus seperti itu. Namun jika usia makin bertambah, sifat ke-ABG-an masih saja ngendon, ini baru masalah. Semakin usia bertambah seharusnya membuat kita makin bijak. Tapi apa daya saat kejernihan menjauh karena terlampau terpukau dengan hal bersifat fisik dan ego semata, saya kuatir hanya akan menunggu kepedihan menyapa tanpa tahu salahnya dimana. Kita perlu semua hal asal dalam titik keseimbangan, namun saat bandul terlalu berat ke satu arah, tidak dipercaya bagaimana mengatasinya saat dengan pelan bahagia menjauh dari kita.
Kebetulan saya memiliki banyak sahabat dengan tingkatan usia dari yang sudah punya cucu sampai dengan usia cucu sahabat saya. Ada banyak hal yang menarik bergaul dengan mereka. Ada sahabat saya yang hampir mendekati "finish" tapi tidak tahu tujuan hidup ini untuk apa sehingga setiap bertemu selalu saja ceritanya "kering". Materi berlimpah tidak mampu membuat hidup ini menjadi berarti dalam dirinya, ada kebosanan yang tidak bisa ditawar. Sehingga saat saya ajak sekedar untuk menyisihkan untuk membantu, sahabat saya ini menangis, dia bilang baru kali ini apa yang dia lakukan begitu menyentuh hatinya, ada sengatan spiritual buat dia sehingga menjadi adiksi. Belakangan ini dia makin aktif di kegiatan sosial keagamaan. Buat dia ini lebih berharga. Sahabat saya yang lain, anak muda yang bercita-cita tidak muluk, hanya ingin membahagiakan orang tuanya, sebagai cara balas budi karena dia telah dilahirkan ke dunia ini. Caranya? lahir dari keluarga biasa, hari ini sahabat saya lagi berjuang untuk membiayai kuliah adik-adiknya, dan orang tuanya yang sakit-sakitan.
Diujung lain, banyak mereka yang terlena dengan keasyikkan membesarkan ego, tanpa tahu hidup mengarah kemana . Tahu akibatnya? bergerak dari kepedihan yang satu ke kepedihan yang lain, sebagai akibat dari hukum mengikat, ingin memiliki harus siap kehilangan. Kadang saya menangis melihat mereka, dan berharap mereka menemukan "oase" untuk sekedar bernafas bahwa saat hidup ini terlampau lelah untuk dijalani satu-satunya hal adalah menepi dan menyepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar