Saya pernah malam2 dulu pulang kerja nemuin tukang sate di Blitar Selatan, ngomongnya alus, sampe sungkan sebagai orang Jawa bahasa kromo nya kalah. Lebih kaget lagi ternyata ia orang blega Bangkalan. Dia kaget juga begitu saya bilang Belgia (plesetan blega, salah satu kecamatan di kab Bangkalan) hingga akhirnya dapat diskon lumayan. Begitulah jika orang madura merantau, siapapun dianggap tretan walau hanya sekedar bisa ngomong madura nik- sakonik(dikit2).
Di Malang juga begitu, nawar apapun pake bahasa madura, pasti di diskon. Jadi bargaining anda naik saat bisa memenuhi unsur trust mereka, pakai bahasa madura meskipun logat jawa. Gak percaya? Saya kalau cukur pasti cari tukang cukur madura, selain murah meriah, ajak ngobrol dengan bahasa madura, habis cukur pasti dipijat lama. Jadi ini masalah trust menurut saya.
Makanya kalau kemarin ada demo perkara penyekatan jembatan suramadu jangan2 hanya perkara yang satu ini, trust, terlepas konsekwensi prokes.
Mereka tidak anti malah pro, mereka tidak takut sama orang yang namanya Sueb, demikian sohib saya broedin nerangkan.
Awalnya bingung juga apa maksudnya,,, ternyata mereka pro thd prokes bukan anti(gen). Apalagi Sueb (maksudnya swab).
Jadi ini sebenarnya masalah dialektika, yang perlu sering dikomunikasikan. Saat masih "bekerja", daerah Surabaya Utara mulai perak, kembang jepun, kapasan dan sekitarnya kebanyakan pekerja lepas yang memang tinggal di madura tiap hari pulang pergi lewat suramadu. Dikatakan dialektika karena permasalahannya tidak cukup dimengerti dengan pemahaman resiko sebaran penyakit, tapi lebih dari itu, ratusan, atau bahkan ribuan tiap hari mereka lalu lalang lewati jembatan sebagai saksi bisu upaya memeras keringat mereka.
Ini mirip cerita broedin saat ditilang pak pol gegara gak pakai helm hanya pakai kopyah. Pak pol nerangkan kalau pakai helm kepala bisa terlindungi. Tentu saja broedin membantah : coba helm nya dibanting pak pasti pecah, coba kopyah saya sampean banting, pecah ga.
Kalau dipahami secara apa adanya tentu ga nyambung, tapi kalau dipahami secara dialektika tentu kita ngakak. Dan pak Pol punya solusi cerdas, kopyah tetep suruh pakai, tapi tilang tetep jalan,,,,,