Semalem, dalam kesempatan "nongkrong" di tempat minum kopi di Situbondo, ada sepasang muda mudi kalau dilihat dari gesturnya lagi pdkt. Dari logatnya yang kental aksen madura, saya yakin mereka lokalan orang sana, namun yang bikin senyum2 sendiri, pdkt ala Jakarta, bahasanya lo gue,,,,, nyakartai (bukan nyakar-tai) π. Seolah dengan bahasa gaul rasa cinta akan lebih diterima
Persoalan bahasa agar bisa kelihatan keren dengan memakai aksen tertentu terutama nyakartai sudah lama saya amati. Di Malang, mahasiswanya setiap ketemu entah di mall, warung jarang pake bahasa ngalam sekarang, lebih merasa cool kalau bisa ber-elu gue, padahal ketika ketemu temen sekampungnya tanpa tersadar bilang : ehhh nda,,,,piye kabarmu, suweloh ra ketemu nda,,,,; nda bahasa slank brarti bro untuk orang jawa mulai dari kediri sampai pacitan. Persoalan ini juga karena rata2 pendatang dari jakarta banyak kuliah disana bahkan penyiar radio di malang banyak pakai ucapan lo-gue.
Gejala apakah ini? Saya sih menyebutnya imferior culture, persoalan gegar budaya bagi pendatang yang berlatar belakang agropolis menuju metropolis. Lain halnya surabaya, mereka lebih suka dengan ucapan slank setempat, bahkan penyiar radio anak muda disana selalu memakai ucapan suroboyoan, sampai dalam interaksi dengan pendengar yang namanya umpatan "raimu" umum diucapkan. Jancuuk,,,,,sudah menjadi hiasan sehari2 sebagai tanda keakraban. Surabaya terasa lebih egaliter, mereka tak merasa minder kalau tak nyakartai. Bahkan anak2 muda pendatang dari ibukota pernah saya dengar enteng aja bilang janncuuk, mereka merasa ada penerimaan dengan bilang kata2 tersebut.
Repotnya anak2 muda di jakarta mulai jarang memakainya, mereka selalu selipkan bahasa english,sehingga ada bahasa jaksel, jakbar, jaktim, untuk menunjukkan perbedaan komunikasi di daerah tsb.
"iam find2 aja tuh jalan sm dia yg penting ngerasa comfort aja, after all, time yang akan kasih descision, mo lanjut apa kagak", piye jal nek ngono ngomonge,,, πππ. Saya hanya bilang, anak muda ibukota merasa imferior, kalau ga sisipkan kata inernasyeonal. Sama dengan yang di Situbondo semalam, gak marem kalau ga pakai bahasa nyakartai, hanya saya jadi kuatir, jika yang perempuan menolak terus pakai bahasa sono, pasti bilangnya. : lo-gue,,,,,, end,,,,,
Pastinya si cowok langsung ambruk sambil bilang : lokkah tak addere
πππππ
(*) luka tak berdarah