Pengalaman hidup saya telah menghantarkan pada sebuah pemahaman kalau sebuah persahabatan yang ujungnya hanya mencederai ketulusan, rasanya seperti harakiri, tidak saja menyakiti diri sendiri, tetapi semuanya. Entah kenapa sejak lama saya agak skeptis dengan nilai persahabatan, bukan karena tidak percaya, namun selalu dihantui dengan apriori siapa memanfaatkan siapa. Trauma mungkin, karena sejak kecil, apapun semua saya pendam sendiri.
Jadi kalau saya ingin meminta sahabat untuk sekedar mendengar ocehan saya,,,mesti harus berputar-putar karena tidak ingin membebaninya dan beranggapan mungkin sahabat saya juga lagi membawa beban yang tidak ringan, ujungnya sebuah permintaan maaf telah berusaha membuatnya repot. Akhirnya saya menyimpulkan sendiri kalau semua permasalahan memang harus berujung diam tanpa perlu seorangpun tahu. Dari sana saya makin akrab dengan sunyi, diam dan menghibur diri kalau itu semua hanyalah bahasa Tuhan. Entah asumsi saya ini karangan belaka atau memang ilusi diri sendiri, yang jelas saya tidak percaya persahabatan melebihi penghormatan pada diri sendiri. Tidak percaya pengorbanan kepada orang lain tanpa tendensi. Yang benar adalah sintesa siapa memanfaatkan siapa.
Itulah sebabnya saya teramat mengakrabi sahabat yang bernama pengkhianatan, karena seringnya menjadi korban. Saya sangat percaya untuk mencapai keheningan perlu ketulusan. Dan ini titik lemah yang menjadi bulan-bulanan untuk dimanfaatkan siapa saja karena terasa naif akhirnya mereka melihat saya. Persis seperti menembak bebek lumpuh. Terlalu sering itu dilakukan sehingga entah kenapa saya kehilangan rasa sakitnya.
Itulah yang akhirnya menyadarkan saya mengapa banyak orang masih "mencari" cinta sejati, cinta yang sesungguhnya, namun gagal menangkap esensinya karena jarang untuk belajar ketulusan tanpa kuatir dimanfaatkan. Mereka selalu meminta untuk dicintai dengan ketulusan namun gagal untuk mencintai diri sendiri dengan ketulusan juga. Ujung-ujungnya adalah kesakitan dan menyakiti. Jadi saya makin percaya yang namanya persahabatan sejati, sebenarnya hanya ilusi dari egoisme diri, keinginan alam bawah sadar. Itulah sebabya, hari ini saya ragu dengan semua bentuk ketulusan. Karena tanpa sadar di dada setiap orang tertulis Iam Very Important Person, orang lain You are very Impotent Person.
bertahun tahun kuketuk pintu Mu lama tak terbuka setelah terbuka baru sadar ternyata aku mengetuknya dari dalam #rumi
Senin, 20 Desember 2010
Jumat, 17 Desember 2010
Selamat Datang Tamu Saya
Saya tidak terkejut ketika hari-hari ini banyak tamu mendatangi saya, tamu yang terhormat itu bernama kesedihan. Hanya saya sendiri tidak tahu mengapa saya menerimanya dengan ketakziman, menjadikannya tamu yang penuh hormat,,,padahal, sebelumnya saya akan menolak sebelum sampai depan pintu. Aneh memang dengan perubahan ini, bukannya mau bangga berteman kesedihan,,, namun saya hanya mau mencoba seperti yang ada di buku, kerennya saya jadi kelinci percobaan untuk diri sendiri. Buku itu bilang, apapun kesedihan adalah vitamin yang menguatkan jiwa,,,
Saat itu datang,,,saya terguncang, sampai tidak tidur semalaman sibuk menemani sang tamu sambil bertanya-tanya seperti apakah wajah kesedihan. Awalnya menakutkan,,, sungguh menakutkan, sempat diri ini terlempar,,, namun pelan saya biasakan dengannya,,, ternyata meskipun masih sedikit ragu,,,saya bisa berjabatan tangan. Walau saya belum yakin apakah ia esok akan melumat saya sampai habis tetesan air mata,,, tapi saya menjadi tentram karena dibalik wajahnya yang menakutkan sesungguhnya tersimpan sisi bernama keikhlasan .
Saya tersadar, ternyata yang membuat wajah kesedihan menjadi menakutkan karena tergambar dari pikiran. Karena saya dipaksa untuk bertahan dari ego tentang masa depan yang buram. Bukan sok mau menerima,,,namun saya hanya berusaha untuk tidak menghindar, saya hanya mencari dimana arti totalitas kepasrahan pada Tuhan saat nalar dan logika hanya bagian terkecil dari sebuah perjalanan yang bernama kehidupan. Saya memang belum menemukan makna vitamin jiwa dari kesedihan, mungkin esok setelah berlalunya waktu, atau setelah ia pamit untuk pergi dan berpesan suatu saat akan datang lagi.
Jadi apa lagi yang harus saya katakan kecuali : selamat datang kesedihan,,,
dan itu saya ucapkan dengan senyum paling manis
Saat itu datang,,,saya terguncang, sampai tidak tidur semalaman sibuk menemani sang tamu sambil bertanya-tanya seperti apakah wajah kesedihan. Awalnya menakutkan,,, sungguh menakutkan, sempat diri ini terlempar,,, namun pelan saya biasakan dengannya,,, ternyata meskipun masih sedikit ragu,,,saya bisa berjabatan tangan. Walau saya belum yakin apakah ia esok akan melumat saya sampai habis tetesan air mata,,, tapi saya menjadi tentram karena dibalik wajahnya yang menakutkan sesungguhnya tersimpan sisi bernama keikhlasan .
Saya tersadar, ternyata yang membuat wajah kesedihan menjadi menakutkan karena tergambar dari pikiran. Karena saya dipaksa untuk bertahan dari ego tentang masa depan yang buram. Bukan sok mau menerima,,,namun saya hanya berusaha untuk tidak menghindar, saya hanya mencari dimana arti totalitas kepasrahan pada Tuhan saat nalar dan logika hanya bagian terkecil dari sebuah perjalanan yang bernama kehidupan. Saya memang belum menemukan makna vitamin jiwa dari kesedihan, mungkin esok setelah berlalunya waktu, atau setelah ia pamit untuk pergi dan berpesan suatu saat akan datang lagi.
Jadi apa lagi yang harus saya katakan kecuali : selamat datang kesedihan,,,
dan itu saya ucapkan dengan senyum paling manis
Langganan:
Postingan (Atom)