Minggu, 12 Juni 2016

Berlari di jalan sunyi


Mungkin benar adanya tatkala ada orang bilang hidup adalah keterlanjuran. Setiap setik, waktu yang disediakan kehidupan pada kita, adalah bentuk hutang cinta yang harus dibayar lunas. Keterlanjuran karena waktu tak bisa kembali, hutang cinta karena hidup juga menyediakan kebutuhan kita disini. Ini berlaku juga dengan saya, awal ramadhan jika orang lain asik dengan gairah spiritual dan ritual dan menikmati benar bagaimana buka, sahur taraweh dengan orang tersayang, saya malah marathon dengan aktifitas yang menurut Gurpan : berlari di jalan sunyi. Bagaimana tidak, awal ramadhan saya  harus meeting kadang hingga larut malam, membuat konsep, evaluasi, lantas mengimplementasikan plan dengan irama yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan, tiba-tiba tanpa terasa saya sudah jauh dari rumah. Kangen dengan situasi berbuka puasa di rumah, sms balasan dari anak mertua hanys singkat: katanya udah janji lillahita'ala. Balasan sms ini cukup menyengat, dan saya di ajak berlari lebih jauh namun enjoy.

Setiap ucapan yang pernah saya katakan pada Gurpan kemarin, ternyata kehidupan menagihnya, dan perjalanan di jalan sunyi malah makin cepat kalau tidak dikatakan berlari. Tidak tahu akan kemana ujungnya, berlari di jalan sunyi tanpa peta, tanpa jalan dan tanpa tahu berakhir dimana, menuntut keikhlasan total. Setelah berhari hari merasa kurang tidur, tiba-tiba saya terdampar di penginapan untuk recovery melunasi tidur. Sendiri dan sunyi, hanya endapan jejak yang kemarin bisa saya tengok. Entah kenapa merenung jadi hal yang intens dilakukan, dan saya merasa kehidupan memberikan sekaligus menagih janji. Jalan sunyi memang hal yang mengasikkan, banyak "jebakan" spiritual yang ditemui dan saya meng-ikhlas-kan masuk dalam kubangan itu. Entahlah saya menemukan kedamaian disana, ada energi cinta yang hangat disana. Samar-samar dari kejauhan tarhim terdengar dengan bacaan surat arrahman: maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan
duuhh,,,,






Tidak ada komentar:

Posting Komentar